DONGENG ROKAN

Tak Tindam Tak Kuteteh


“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Apo caro urang buladang (Bagaimana cara orang berladang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
Suara nyanyian itu bersipongang di dalam hutan. Menggema di antara pepohonan besar dalam rimba. Berirama lembut, membuai-buai. Kadangkala terdengar bagai ratapan, lain waktu terdengar seperti selingan musik di antara pekik siamang dan kicauan burung.
Pak Andie dan Mak Andie tertegun. Sudah sekian lama mereka hidup. Belum pernah mereka mendengar suara semerdu itu. Seperti suara bidadari yang turun dari kayangan.
Keduanya masih mendengarkan irama nyanyian itu dengan penuh minat. Bukan hanya itu, mereka malah berhenti bekerja menebas hutan. Hati dan pikiran mereka kini tertuju kepada suara nyanyian itu. Padahal sejak turun menebas hutan untuk membuat ladang, hampir tak pernah mereka berhenti bekerja. Dari pagi sampai petang mereka terus dan terus bekerja. Kadang-kadang malam pun mereka menebas, bersuluh obor. Makan pun kadang mereka lupa saking asyiknya bekerja.
Dulu, konon kabarnya di kampung Telukriti Pak Andie dan Mak Andie memang terkenal sebagai sepasang petani yang rajin dan kaya. Mereka juga sangat dermawan, suka menolong, suka memberi. Tetapi mereka jarang bergaul dengan penduduk kampung. Mereka selalu sibuk bekerja. Untuk mengasuh anak mereka yang masih kecil pun diserahkan pada seorang pembantu. Padahal di masa itu tak ada orangtua mencari pengasuh bagi anak-anaknya. Apalagi itu anak pertama, anak tunggal mereka.
Tetapi itulah, mereka hanya punya satu keinginan, yaitu ingin tetap kaya-raya. Bahkan ingin lebih kaya lagi dari sekarang. Dan satu-satunya cara agar lebih kaya hanya dengan bekerja keras, membuat ladang seluas-luasnya. Menebas dan menebang hutan seluas-luasnya pula.
Tetapi suara nyanyian itu? Mengapa nyanyian itu begitu menggoda mereka? Dari mana sumber suara itu?
Semula mereka menduga suara itu berasal dari penyadap karet di kebun
sebelah hutan tempat mereka menebas. Akan tetapi setelah berjohu beberapa kali dan tak ada sahutan, keduanya tidak yakin itu suara penyadap karet. Berjohu maksudnya berteriak lantang dengan tujuan memanggil seseorang yang jauh dan tidak tampak. Lagi pula tidak mungkin nyanyian itu bisa seindah dan semempesona seperti itu kalau hanya dilagukan
oleh seorang penyadap karet. Kecuali kalau penyadap karet itu memakai putunang.
Menurut kepercayaan orang kampung Telukriti, ada orang-orang tertentu yang bisa menyanyi atau meniup suling diiringi dengan ilmu gaib, ilmu penunduk hati. Sehingga orang yang mendengar nyanyian itu tunduk terpesona kepada si penyanyi atau si peniup suling. Ilmu penunduk hati melalui suara itu disebut putunang. Memang putunang yang sering dilakukan biasanya melalui suling. Tetapi orang yang sudah ahli menggunakan ilmu putunang, bisa saja melakukannya melalui suara nyanyian bahkan lewat siulan.
Jadi benarkah nyanyian itu berasal dari suara seseorang? Jangan-jangan nyanyian itu berasal dari hantu penunggu hutan? Jembalang tanah? Atau orang bunian? Konon orang bunian juga bisa berubah wujud seperti manusia. Bahkan kata orang kampung, beberapa orang dari dukun di kampung Pak Andie dan Mak Andie kawin dengan orang bunian.
Entahlah, yang jelas kini Pak Andie dan Mak Andie makin penasaran. Sementara irama nyanyian itu secara perlahan masuk merasuk ke dalam hati dan pikiran mereka. Sehingga tanpa sadar mereka terbuai dalam irama itu, kemudian mengikuti irama itu dengan sepenuh rasa. Mereka bernyanyi, bernyanyi dan terus bernyanyi seraya menjawab suara nyanyian gaib itu :
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Butanam pisang kuladi (Bertanam pisang keladi)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Agaknya, si pemilik suara di hutan sebelah merasa senang. Nyanyian Pak Andie dan Mak Andie langsung disahutnya dengan suara melengking tinggi :
“Kuladi dimakan bongai (Keladi dimakan ulat)
Bongai dicotok ayam (Ulat dipatuk ayam)
Ayam dicokou musang (Ayam ditangkap musang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
Suara itu luar biasa dahsyat. Seperti membubung ke angkasa, kemudian merayap di lembah-lembah, menyapa pepohonan besar berdaun lebat, menggetar-kan sukma menundukkan jiwa. Sukma dan jiwa Pak Andia dan Mak Andie.
Keduanya saling berpandangan sejenak. Mereka tak bisa lagi menahan rasa penasaran yang makin kuat menggelitik rasa ingin tahu mereka. Mereka sudah lupa pada pekerjaan mereka, lupa pada tebasan yang belum selesai. Keduanya kini melangkah ke arah suara. Mula-mula perlahan, berhati-hati, mengendap-endap. Tetapi makin lama makin cepat, makin bergegas.
Setelah jauh masuk ke hutan, tiba-tiba Pak Andia mengghentikan langkah. Mak Andie juga berbuat hal serupa. “Tak mungkin sejauh ini,” ucap Pak Andie pada isterinya.
“Iya, ya! Tadi suara itu terdengar sekitar sini,” sahut Mak Andie dengan nafas terengah-engah.
Lama keduanya terdiam. Mereka kini jadi sangsi. Jangan-jangan benar dugaan mereka tadi. Suara itu benar-benar berasal dari orang bunian. Atau suara penunggu hutan yang menidurkan anaknya. Konon kata orang kampung, hantu hutan biasanya menidurkan anaknya pada siang hari.
Pak Andie dan Mak Andie kembali bernyanyi. Mengulang-ulang nyanyian tadi, beriba-iba, membuai merdu. Namun tak ada sahutan, tak ada suara yang memukau. Suara itu seperti raib ditelan pepohonan besar yang tegak kokoh bagai kaki-kaki raksasa di sekeliling mereka.
“Mengapa dia diam?” tanya Mak Andie risau.
Pak Andie hanya menggeleng. Namun kemudian dia menyahut dengan suara mengambang,”Mungkin karena syair lagunya diulang-ulang.”
“Maksud Bapak?”
“Lanjutkan lagunya, ciptakan jawaban nyanyian tadi.”
“Tadi sampai mana, Pak?” Mak Andie mencoba mengajuk pikiran suaminya.
Pak Andie tidak menjawab, tetapi langsung bernyanyi :
“Kuladi dimakan bongai (Keladi dimakan ulat)
Bongai dicotok ayam (Ulat dipatuk ayam)
Ayam dicokou musang (Ayam ditangkap musang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
“Kolou bongai dicotok ayam, ayam dicokou musang, musang mungapo, Pak?” tanya Mak Andie bingung dalam bahasa kampung mereka.
“Musang disalak anjiang.”
“Mengapa begitu pula?”
“Suka hati kitalah,” jawab Pak Andie singkat.
“Mana pula bisa suka hati.”
“Yang penting kan bernyanyi. Supaya nyanyian kita disahuti,” tangkis Pak Andie tak mau kalah. Dan tanpa menunggu Mak Andie bicara, dia langsung melanjutkan nyanyian :
“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Musang disalak anjiang (Musang disalak anjing)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
Tetap tak ada sahutan. Hutan sekitar mereka tetap sunyi.
“Tak tindam tak kuteteh ((Tak tindam tak kuteteh)
Anjiang ditangkok rimau (Anjing ditangkap harimau)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
Baru saja Mak Andie selesai bernyanyi, sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara nyanyian :
“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Rimau ditimpo pungguo (Harimau ditimpa tunggul lapuk)
Pungguo dimakan api (Tunggul lapouk dimakan api)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
“Sudahlah, berarti itu suara bunian atau hantu hutan,” ucap Pak Andie sejurus kemudian. “Kalau kita kejar ke sana, dia akan terus berlari lebih jauh lagi,”tambahnya.
“Tapi kita harus menemukannya, Pak!” Mak Andie tak mau mengalah.
“Ingat, Mak. Banyak cerita orang bunian bisa menyesatkan orang. Kita nanti tak tahu jalan pulang,” kata Pak Andie lagi, mengingatkan isterinya. Akan tetapi Mak Andie sudah terlanjur tergoda pada suara itu. Dia bersikeras ingin mencari sumber suara itu.
Pak Andie akhirnya mengalah. Mereka terus melangkah, makin jauh ke dalam hutan lebat, menuju suara nyanyian. Dan baru saja beberapa langkah mere-
ka berjalan, terdengar lagi suara nyanyian yang mendayu-dayu itu :
“Api ditimpo ujan (Api ditimpa hujan)
Ujan disapu angin (Hujan disapu angin)
Angin tutumbuk ku gunung (Angin tertumbuk ke gunung)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Sambil berjalan, Mak Andie menyahut :
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Gunung digoyang gompo (Gunung digoyang gempa)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Suara nyanyian itu menyahut dengan suara melengking tinggi :
“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Gompo, buncano dai Allah (Gempa, bencana dari Allah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
Suara yang tadi melengking tinggi, kini makin lama makin perlahan, perlahan dan terus makin pelan sampai akhirnya redup seperti sumbu lampu yang kehabisan minyak.
Pak Andie dan Mak Andie berhenti. Lalu melantunkan nyanyian, mengulang syair-syair nyanyian itu dari awal. Dengan harapan akan ada suara sahutan, suara nyanyian yang memukau itu.
Akan tetapi sampai senja mereka bernyanyi, tetap saja suara yang mereka tunggu tak terdengar. Dan memang tak akan terdengar lagi. Maka dengan beriba-iba hati, Mak Andie pun untuk ke sekian kalinya melantunkan nyanyian itu yang sekali-sekali diselingi oleh Pak Andie :
“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Apo caro urang buladang (Bagaimana cara orang berladang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Butanam pisang kuladi (Bertanam pisang keladi)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Kuladi dimakan bongai (Keladi dimakan ulat)
Bongai dicotok ayam (Ulat dipatuk ayam)
Ayam dicokou musang (Ayam ditangkap musang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Musang disalak anjiang (Musang disalak anjing)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Anjiang ditangkok rimau (Anjing ditangkap harimau)
Rimau ditimpo pungguo (Harimau ditimpa tunggul lapuk)
Pungguo dimakan api (Tunggul lapouk dimakan api)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Api ditimpo ujan (Api ditimpa hujan)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Ujan disapu angin (Hujan disapu angin)
Angin tutumbuk ku gunung (Angin tertumbuk ke gunung)
Gunung digoyang gompo (Gunung digoyang gempa)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Gompo, buncano dai Allah (Gempa, bencana dari Allah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
Mak Andie menangis. Dia seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Dalam keadaan masih sesenggukan menahan isaknya, Mak Andie diajak oleh Pak Andie pulang.
Celakanya, apa yang dikhawatirkan Pak Andie tadi benar. Mereka tak tahu lagi jalan menuju pulang. Mereka tersesat. Berhari-hari mereka mengembara dalam hutan. Makan dari buah-buahan dan dedaunan hutan.
Dalam pada itu Mak Andie makin teringat pada anaknya. Penyesalan mulai menguasai hatinya. Untuk pelipur hatinya yang disesaki rasa sesal dan gundah, Mak Andie kembali melantunkan nyanyian Tak Tindam Tak Kuteteh. Berulang-ulang nyanyian itu dia lantunkan. Kadangkala disahuti olej Pak Andie yang juga larut dalam kesedihan dan penyesalan. Akan tetapi makin asyik mereka bernyanyi, rindu pada anak yang mereka tinggalkan serasa semakin menyesak dada. Dalam hati dia berjanji, tak akan lagi meninggalkan anaknya pada pengasuhnya.
Dan Mak Andie menepati janjinya. Ketika sepekan kemudian penduduk kampung menemukan mereka di bawah pohon jejawi, pohon beringin, dia menciumi anaknya dengan sepenuh rasa sayang. Dan bila anaknya menangis, dia pun bernyanyi :
“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Apo caro urang buladang (Bagaimana cara orang berladang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
Sejak itu, nyanyian “Tak Tindam Tak Kuteteh” menjadi nyanyian pengantar tidur anak-anak di kampung Telukriti, yang ditembangkan di ladang-ladang, di semilir angin yang menghembuskan harum bunga padi. ***