Jumat, 01 Mei 2009

KOTA INI


kota ini sudah sempit
menjadikan semua tampak buram
langkah bergantung pada sentuhan lincah jemari
dan menepis jauh-jauh kata berbau letih
memang parah,
dari manusia jadi-jadian
samar terhadap tujuan hidup
memang payah,
dari menggolek segenggam butiran kacang hijau dengan sebatang lidi

ini pekerjaan gila
jauh dari kesanggupan
untuk badan yang rentan terusik alam

siapa tahu,
siapa yang tahu,
siapa mau tahu
kota ini adalah rimba
gila,
kegilaan,
tergila-gila
adalah rentetan pencapaian hasrat

hal yang rumit
terungkit tentang kota yang pelit
dan bicara berkenaan dengan duit
pada waktu yang sedikit

kota ini adalah pencipta kekufuran,
pada pandangan yang terbatas
pada keinginan yang mengangan

Duapuluh Tujuh

Engkau "Iman"ku yang kuperoleh dari seorang bocah yang belum bisa menyebutkan huruf "R" dan kadang terpaksa meminum susu asin kalengan juga selalu melarangmu memanggilku dengan kata "Bapak"

Minggu, 01 Maret 2009

Pantat Berbulu (Dalam Hati)

Beranjak kata
terelak bara yang tak kunjung arang
pada bibir-bibir kering yang mudah terbakar
gelak berkhianat
cibir mengumpat
salam berderuk
hati mengutuk
pantat berbulu ...

Berkedip mata
terbias cahaya yang tak kunjung padam
hidup di antara kertas
dengang tak ketus
keluai mencuri ayam
beranak .......

Bertekuk lutut
tertatih langkah yang tak putus jalan
pada setapak yang bersimpang-simpang
nafas terengah
peluh bersimbah
menginyam malu
darah ke ujung rambut
hantu belau...

Pada waktu yang separuh
jelas kerut di kening lebam
menyingau masa yang tak mungkin kembali pulang
menyorot waktu yang tersisa
beraksa tumbang di tengah terik
tak tahan menatap pada geliat
langit tak mau jadi sahabat
air mata jatuh ke dalam hati
manusia mati menahan dendam

Sabtu, 28 Februari 2009

SOS

ada yang bisa menolong?
ada yang bungkang sepetang
ada yang tumbang di belakang

ada yang bisa melolong?
ada yang merintih tertindih
ada yang pedih tertoreh

ada yang bisa memopong?
ada yang meraung hanya bingung
ada yang beruntung hanya buntung

ada yang berang
ada belulang
ada yang kurang

ada yang benderang
ada ketimbang
ada yang kepalang

ada yang hilang
ada tak ada orang
ada yang orang?

Tak Lagi Kekasihku

Aku Takkan Lagi Menyakiti Kekasihku
Karena Melihat Arloji

Aku Takkan Menyayangi Kekasihku
Karena Waktu Luang

Karena Jiwa
Karena Cinta

Matilah di Rebahku
Hiduplah di Pundakku
Senyumlah di Pipiku
Menangislah di Bahuku

Aku Takkan Lagi Mengingin-Inginkanmu
Karena Kau Menunggu

Aku Takkan Lagi Mencari-carimu
Karena Kau Tak Lagi Kekasihku

RANTAI NAFAS

Tarian Nafas

Dia sudah mempunyai segala jawaban
Atas setiap pertanyaan yang akan diajukan
Dan, kukatakan ” aku seharusnya.. tidak...”
Karena tidak semua perihal
Harus dicari jalan keluarnya
Aku tetap saja maju melangkah dan menjauh melangkahinya..
Berikan aku nasehat
Wahai.. penikmat lakonan dalam kurun waktu
Agar aku bisa dilirik
Dan takku berjalan jauh lagi
Karena aku lebih senang berada disini dan tentu saja akan memberikan giliran pada mereka yang masih mengiringi tarian nafas
Agar aku tak berbisik
Dengan tanduk diubunku
Agar aku tak menghardik
Cermin yang memperlihatkan bayangan yang tak terjamah
Hanya dengan mengingat kematian
Aku bisa tetap hidup
Dari tiada tentu kembali tiada
Hingga tak ada lagi padang hijau membentang dihalaman kediaman
Sebab rumput akan layu dan mati terinjak
Oleh berjuta pasang kaki dengan sepatu yang terbuat dari kulit binatang
Dan mereka yang masih mengiringi tarian nafas

RANTAI NAFAS

Menarik Nafas

Ucapanmu itu
Cukup untuk membayar semuanya
Cukup sebuah pernyataan yang benar-benar memaksa aku untuk diam dengan dalih yang dapat membukakan mata pada hamparan bumi yang takkan pernah datar
Karena aku hanya bisa mendengar tentunya
dari pada berkata-kata
sebab asam dan garam lebih dulu kau cicipi
sebab sayangku yang membuat aku membiarkan kamu larut dalam kekosongan
dan aku tetap ingin mendengar
suara yang bermula dengan tarik nafas yang dalam
Sebab perkara kan terungkap dalam nafas yang panjang

RANTAI NAFAS

Menahan Nafas III

Pernah mereka berkesimpulan
Dunia tetap hidup karena cemburu
Apalah bedanya..
Hanya sebatas gerak lima jari
Hanya irama yang bermelodi tinggi
Yang membuat merasa kalah
Aku paham, kau cemburu
Namun kau tak tahu betapa cemburunya aku....
Sungguh....
Angan-angan itu tak tahu diri
Aku tak pernah percaya bahwa jodoh takkan lari kemana
Jika kau dan aku saling berusaha menjauh
Jika kau dan aku hanya saling menunggu
Jika kau dan aku mati
Aku juga menghadirkan bencana
Kalau sempat bibir berbicara dan berusaha menembus batas harap dan cemburu yang memadu tanpa sekat
Sama saja dengan aku yang diam tanpa memburu bayang-bayang
Dan satu hiruppun tak tertarik
terpaksa menahan nafas menjelang sesak

RANTAI NAFAS

Menahan Nafas


Aku sudah terlalu jauh
Mengendus di tempat yang bukan seharusnya
Aku takkan katakan ‘ jangan menangis!’
Sebab air mata yang keluar tak selalu buruk
Memang kita saja yang tak mempunyai pilihan
Sebab logika menutup arah dan
Mengapa kenyataanmu memaksaku tetap di sini
Apa kau bisa menghapus kerutan dikeningku
Yang berbanjar saat aku rentan
Apa kau bisa menjangkau lubang tenggorakanku
Yang ketulangan saat aku menelan ucap para penghardik
Hadirlah sebuah dalih dalam ketakutan
Tatkala gerak terbatas pilihan
Memaksa membungkus jasad dalam kotak-kotak kecil
Walaupun sementara, semua tampak nyata
Saat tangismu mengikis malam
Mengukir tebing curam
Aku hanya bisa diam
Di derasnya isak
Yang sesungguhnya akan menghanyutkan
Akupun menanti, pagi
Mengintai, dibalik tirai hitam yang tak pernah tersingkap
Mencuri cahaya merah sedini mungkin
Menjelang tangis berkabung dan senja yang menutup mata
Dan kutulis sebait pesan di daun pintu aku terpaku
Aku menitip roh dalam hati yang berat melepas cinta ke sisi nafas yang berbeda
Aku menitip gelak tawa pada lawakan yang belum disaksikan
Aku juga meninggalkan sebentuk raut yang merona
yang sigap menjalankan sebuah permainan hidup.

RANTAI NAFAS

Menahan Nafas II

Tak pelak aku mengandai-andai
Takkan kau kutemui
Bahkan engkaupun entah siapa dalam legenda
Namun..
Aku menyaksikan lakonan nyata
Yang kadang makin memikat
Dan juga menyebalkan
Sebab mata tak setakat hati
Yang menghadirkan dua kutub yang berlawan
Hati menyeru..
Kaulah wanita yang membukakan mata
Pada alur yang hendak kuwujudkan
Agar tetap kau tokoh yang berperan terbaik
Kaulah wanita yang menyibak tirai jendela
Agar aku tetap menatap cahaya matahari pagi
Namun mata menyela..
Kau wanita yang menutup mataku
Pada wajah yang terpampang berpencar arah
Kau wanita yang menerangi malamku
Yang mengusik tidurku
Hingga aku bersama malam yang menggantikan siang..
Berdua,
mengubur jasad-jasad bait dan meleraikan aksara dalam liang
Akupun mencium aroma kamboja
Yang tumbuh subur diatas daging yang membusuk dan tulang-tulang kian rapuh
Aku kalah memburu nafas yang bergairah
Tersendat tenggorok menelan ucap yang kau suguhkan
Tersumbat lubang hidung oleh udara kotor yang kau semburkan serpihan-serpihan kasih
Aku mati..
Dalam diam..
Percuma menangisi..
Air mata kalah dengan rintik hujan
Percuma mengadu..
Sepi direntang ramai
Menciut lidah dan bibir kering mengelupas
Karena ludah mengental menyatu dengan kata yang mengubur diri
Detik-detik yang bisa menoreh
Terbuang bersama oceh yang melirik