Sabtu, 20 November 2010

Si Cambai

    Di tepi hutan Rimbo Buluah Apo, hidup sebuah keluarga miskin, Si Cambai dan amainya. Amai maksudnya emak atau ibu. Kedua anak-beranak itu tinggal di sebuah teratak atau pondok yang dibuat oleh mendiang abah si Cambai. Sudah lebih dua tahun mereka tinggal di teratak itu sejak abah si Cambai meninggal. Selama itu pulalah mereka hidup dalam kemiskinan. Tak usahkan membeli pakaian, untuk makan saja mereka susah.
Untuk bertahan hidup, mereka terpaksa memakan buah-buahan dan dedaunan hutan. Tetapi itu pun tidak terlalu lama. Buah-buahan dan dedaunan hutan pun lama-lama akhirnya susah didapat.
Pernah suatu hari keduanya mabuk dan nyaris meninggal karena memakan umbi ubi aro, sejenis umbi-umbian hutan. Kalau dimasak dengan baik memang rasanya enak, dapat pengganti nasi. Tetapi karena mereka tidak tahan lapar lagi, begitu ketemu mereka langsung memakan ubi aro itu. Akibatnya ya, itu tadi. Mereka mabuk dan nyaris tewas.
Pengalaman lain yang cukup menyedihkan tetapi juga menggelikan, ketika suatu hari yang lain, amai si Cambai menemukan cendawan. Cendawan itu mereka rebus dan memakannya. Selang sejam kemudian keduanya tiba-tiba bertingkah aneh. Ketawa-ketawa, mula-mula perlahan, makin lama makin keras, ketawa mengakak-ngakak.  Lebih kurang tiga jam mereka saling tertawa itu.
Setelah tawa mereka berhenti barulah mereka menyadarinya. Ternyata cendawan yang mereka makan tadi cendawan proan. Cendawan hutan ini memang aneh. Kalau tidak dimasak dengan baik, bisa memabukkan. Tetapi mabuk yang ditimbulkan bukan muntah atau pingsan, melainkan ketawa atau menangis macam orang kesurupan.
Begitulah. Oleh karena tidak tahan lagi dilantak kemiskinan, amai si Cambai berniat pula hendak pergi merantau. Mencari rezki di kampung atau kota lain.
Tapi bagaimana dengan si Cambai? Meski sudah berumur tujuh tahun, si Cambai tidak akan sanggup berjalan jauh. Tubuhnya kurus dan lemah karena kurang makan. Begitu juga amainya, malah lebih kurus dan lemah. Tidak mung-
kin dia akan sanggup menggendong si  Cambai.
Walaupun begitu tekad amai si Cambai sudah bulat. Dia harus pergi merantau. Apa pun resikonya. Sebab kalaupun dia tetap bertahan di tepi Hutan Rimbo Buluh Apo ini, mereka akan mati kelapan. Karena itulah amai Cambai memutuskan, akan meninggalkan si Cambai di terataknya. Meskipun begitu, amai si Cambai tidak memberitahukan rencananya itu kepada anaknya.
    Tetapi si Cambai akan memakan apa selama dia pergi? Meskipun dia yakin anaknya akan bisa menjaga diri sendiri. Meskipun dia tahu, si Cambai anak gadis yang cerdas. Akan tetapi dia tidak mungkin meninggalkan anaknya tanpa bekal. Itu sama saja dengan membunuh anaknya secara perlahan. Dan juga tidak mungkin dia membiarkan si Cambai mencari makanan sendiri ke dalam hutan. Oleh karena itu harus ada bekal si Cambai untuk waktu yang lama. Tetapi bagaimana cara mendapatkannya?
    Untuk beberapa saat amai Cambai tertegun. Akan tetapi sejurus kemudian dia segera pergi ke hutan. Mencari apa saja yang dapat untuk dimakan, untuk bekal anaknya selama dia merantau. Berhari-hari dia berjalan dalam hutan, mencari makanan untuk anaknya. Sampai akhirnya dia bertemu dengan seekor ular besar, sebesar pohon kelapa.
    Amai Cambai takut bukan main. Mulut ular itu menganga ke arahnya. Tetapi ular itu nyaris tidak bisa bergerak, karena tubuhnya yang besar dan berat. Ular itu hanya bisa makan jika ada binatang atau apa saja yang lewat di depannya. Begitu binatang lewat di depannya, dia menghirup udara sekuat-kuatnya sehingga benda-benda atau binatang yang ada di depan mulutnya tersedot masuk ke mulutnya.
    Menyadari ular besar itu tak bisa bergerak cepat, amai si Cambai menjadi agak lega. Lagipula sudah berhari-hari dia mencari makanan untuk bekal anaknya tinggal. Inilah, ular inilah baru yang dia temukan. Tetapi apakah dia sanggup membunuh ular sebesar ini?
    Tidak, itu tidak mungkin. Jangan-jangan dirinya yang akan ditelan oleh ular itu. Tetapi tidak ada pilihan lain. Satu-satunya cara mendapatkan bekal untuk anaknya hanya dengan mengambil daging ular itu.
    Aha, akhirnya amai si Cambai dapat akal. Walaupun bahayanya cukup besar. Tetapi dia tak peduli. Maka dia pun mengambil jalan mengelilingi, mencari ekor ular besar itu.  Begitu dia menemukan ekor ular besar itu, dipotongnya bagian ujung ekor ular itu. Kemudian dia pun berlari sekencang-kencangnya ke arah terataknya.
    “Apo tu nun Amai bao?” tanya Cambai begitu amainya muncul di depan pintu. Maksudnya, apa itu yang ibu bawa.
    “Amai dapek ikan tilan godang tadi, indo tubao sasadonya,” jawab amai si Cambai gugup. Artinya dia mendapat ikan tilan besar tadi, karena besarnya tidak sanggup membawa semua ikan itu. Maka dibawanya saja sebagian ke teratak.
    Menitik air liur Cambai mendengar jawaban amainya. Sudah sangat lama
mereka tak pernah memakan ikan, apalagi ikan besar. Maka dihampirinya amainya yang sedang sibuk memotong-motong ikan. Potongan-potongan itu kemudian dicuci, kemudian dimasukkan ke dalam takar, semacam guci. Diberi
bumbu tepung beras. Ditunggu beberapa hari sampai menjadi pekasam.  Inilah
cara tradisional mengawetkan ikan.
    Setelah ekor ular itu jadi pekasam, amai si Cambai pun berkata kepada anaknya,”Nak, kau tinggal di teratak ya. Amai hendak menjual pekasam ke kota.. Jaga teratak kita baik-baik ya, Nak. Kalau kau lapar, ambil saja pekasam tilan itu.”
    Si Cambai tidak langsung menjawab. Ditatapnya amainya berlama-lama. Ada yang aneh pada sikap amainya. Biasanya kalau mau pergi kemana saja, amainya hanya menyebut tujuannya, lalu pergi. Tidak pernah berpetuah menyuruh menjaga teratak atau meninggalkan bekal makanan.
    Ditatap anaknya begitu, amai si Cambai memalingkan wajah. Tidak sanggup dia menatap mata bening dan polos anaknya. Lalu tanpa menunggu jawaban anaknya, dia bergegas menuruni tangga teratak.
    “Hati-hati, Mai! Belikan Cambai makanan enak, ya Mai!” teriak Cambai ketika amainya sudah sampai di laman teratak. Amai Cambai hanya menoleh sejenak, lalu mengangguk dan melangkah meninggalkan laman teratak.
    Baru saja amainya hilang di balik hutan lebat, Cambai mendengar suara alunan nyanyian. Semula Cambai menyangka itu suara amainya. Akan tetapi dia menjadi ragu, karena suara itu berasal dari hutan lebat di belakang terataknya. Maka gadis kecil itu kembali menyimak suara alunan nyanyian itu :
        “O, Cambai poi komano si Amai, deang?”
(O, Cambai pergi kemana ibu, engkau?)
Deang maksudnya panggilan kepada perempuan, baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa.
    Karena terpesona dan terpengaruh oleh keindahan nyanyian itu, si Cambai pun menjawab dengan mengikuti irama nyanyian itu.
        “Poi munjua pukasam tilan.”
        (Pergi menjual pekasam tilan)
    Lalu disahuti langsung oleh suara itu :
        “Indo tedo pukasam tilan. Ikuo kutenyo dikorek amai deang.”
        (Bukanlah itu pekasam tilan. Ekorkulah yang dipotong ibu engkau.)
    Mendengar jawaban nyanyian itu, Si Cambai terkejut. Sehingga dia berusaha mencari sumber suara. Benarkah apa yang dikatakan sumber suara itu? Siapa yang bersuara itu?
    Si Cambai mengintip lewat celah-celah dinding terataknya yang terbuat dari kulit kayu terap.
    Ya, Tuhan! Di sana, di tepi hutan tampak belukar berombak. Pepohonan belukar itu tersibak, bergerak dan berderak patah seperti dihalun kawanan gajah. Binatang apa itu? Dan tampaknya menuju ke teratak.
    Selang beberapa lama kemudian, gerakan itu terhenti. Lalu terdengar nyanyian :
        “O, Cambai poi komano si Amai, deang?”
(O, Cambai pergi kemana ibu, engkau?)
    Dengan gugup setengah tercengang, si Cambai menyahut :
        “Poi munjua pukasam tilan.”
        (Pergi menjual pekasam tilan)
    Suara dari balik semak belukar itu menyahut pula :
        “Indo tedo pukasam tilan. Ikuo kutenyo dikorek amai deang.”
        (Bukanlah itu pekasam tilan. Ekorkulah yang dipotong ibu engkau.)
    Semak-belukar kembali bergerak. Pepohonan kecil berderak patah. Makin dekat, makin dekat ke tepi hutan. Dan ketika sampai di tepi hutan, tak jauh dari teratak, si Cambai terpekik. Di sana terbelintang seekor ular raksasa. Mulutnya sekali-sekali menganga, lidahnya yang bercabang menjulur keluar, bergerak-gerak liar. Dan ekornya, berdarah!
    Mengapa ekor ular raksasa itu berlumuran darah? Dan benar, ekor itu terpotong. Jadi betulkah apa yang dikatakan nyanyian tadi? Ular inikah yang bernyanyi tadi?
        “O, Cambai poi komano si Amai, deang?”
    Ya, Tuhan. Benar, yang bernyanyi sejak tadi ternyata adalah ular besar itu. Ya, suara nyanyian itu benar-benar berasal dari ular itu. Kalau begitu, apa yang dikatakan amai sebagai pekasam tilan itu bohong? Apa mungkin amai berbo-hong? Tidak, tidak mungkin! Amai tidak pernah berbohong kepadaku, pikir Cambai dalam ketakutan.
    Oleh karena tidak ada sahutan dari Cambai, ular itu kembali bernyanyi. Suaranya kadang terdengar seperti mengiba-iba, tetapi kadangkala terdengar seperti geram mengancam. Maka dalam ketakutannya, Cambai kembali menjawab :
        “Poi munjua pukasam tilan.”
        “Indo tedo pukasam tilan. Ikuo kutenyo dikorek amai deang.”
“Nantilah, Deang. Kan kutolan bulek-bulek,” terdengar suara ular itu mengancam. Maksudnya “Tunggulah kau. Kan kutelan bulat-bulat.”
Si Cambai ingin membantah. Tidak mungkin amainya memotong ekor ular untuk dijadikan pekasam. Akan tetapi belum sempat dia bicara, ular besar itu bernyanyi lagi. Dan kini ular itu sudah tersergam di laman teratak. Merayap perlahan ke arah tangga teratak.
Si Cambai gemetar ketakutan. Ular itu terus bernyanyi dan merayap. Dan kini sudah naik pada tangga pertama.
        “O, Cambai poi komano si Amai, deang?”
Cambai berusaha menguasai diri. Mengeyahkan rasa takutnya seraya men-jawab dengan nyanyian :
        “Poi munjua pukasam tilan.”
        “Indo tedo pukasam tilan. Ikuo kutenyo dikorek amai deang.”
    Kemudian ular itu kembali mengeluarkan ancamannya. Hendak menelan Cambai.  Dan kini ular itu sudah sampai pada tangga kedua. Merayap lamban, tetapi terus merangsek naik.
    “Baiklah, kalau engkau hendak menelanku juga, silahkan! Tetapi percayalah, aku tidak berbohong padamu. Amaiku pergi ke kota menjual pekasam tilan,” jelas Cambai. Kini suaranya sudah tenang, tidak gugup dan gemetar lagi.
    “Amaimu bohong. Dia memotong ekorku, lihatlah!” sentak ular marah seraya mengibaskan ekornya yang berdarah.
    “Kalau benar amaiku berbohong, kalau amaiku yang memotong ekormu, mengapa aku yang hendak engkau telan?” tanya Cambai memulai tipu musli-hatnya.
    Seketika ular itu terdiam. Berhenti pada tangga ketiga. Baru sekitar satu depa tubuhnya yang besar itu menaiki tangga. Selainnya terjelepak melintang macam batang kelapa di laman teratak.
    Melihat hal itu, Cambai pun berkata, ”Kalau engkau hendak menelanku juga, biarlah aku turun ke laman. Tak perlu engkau bersusah payah menaiki tangga teratakku. Tangga teratak ini lah lapuk pula. Nanti jatuh pula engkau, makin sakit luka pada ekormu itu.”
    Ular besar itu makin termangu. Akan tetapi ketika dilihatnya Cambai hendak beranjak turun, secepatnya dia berkata,”Baiklah. Engkau akan kutelan.”
    Kini Cambai yang tersentak, kaget. Hanya saja secepatnya dia berusaha menenangkan diri. Dengan dada berdebar, jantung berdegup keras dia pun menuruni anak tangga. Pada saat itu juga sebersit pikiran melintas di kepalanya.
    “Sebelum kau menelanku, aku ingin menebus kesalahan amaiku.”
    “Maksud engkau?” tanya ular tak mengerti.
“Izinkan aku mengobati luka ekormu.”
Kembali ular itu tertegun. Pada saat ular itu diam, Cambai sudah sampai ke tangga paling bawah. Dia langsung melompat ke laman dan menyusuri tubuh ular besar itu sampai ke ekornya. Kemudian tanpa bicara lagi, dia pun mulai mengobati luka ekor ular itu dengan dedaunan hutan. Tiba-tiba saja dia merasa kasihan pada ular itu dan menyesali perbuatan amainya.
Setelah membaruti luka ekor ular itu dengan dedaunan hutan yang dimamahnya, dengan lembut dibelai-belainya tubuh ular itu sepenuh rasa kasih sayang. Ular besar itu merasakan kasih sayang yang tulus dari gadis kecil itu. Dia menikmati belaian lembut itu, sampai akhirnya dia tertidur pulas.
Cambai lalu kembali naik ke teratak. Dengan penuh penyesalan diambil-
nya semua pekasam yang ada di dalam takar. Kemudian ditumpahkannya dengan hati-hati pada bagian ekor ular yang terpotong itu. Dan keajaiban tiba-tiba terjadi. Potongan-potongan pekasam itu berubah bentuk seperti semula, menjadi ekor ular. Dan dalam waktu beberapa saat saja, ekor ular itu kembali utuh seperti sediakala.
    Tak terkata girangnya hati Cambai. Namun dia tidak tega mengganggu tidur ular yang begitu pulas. Ditunggunya ular itu bangun.
    Tiga hari tiga malam dia menahan lapar dan haus. Barulah pada hari keempat ular itu terjaga. Dan begitu menyadari ekornya sudah utuh seperti semula, ular itu berkata memelas,”Engkau benar-benar gadis kecil yang baik budi, Cambai. Karena ketulusanmu, ekorku bisa kembali utuh. Terima kaih, Cambai, terima kasih sahabatku.”
    Selesai berkata begitu, ular besar itu menyemburkan sesuatu dari mulutnya. Sebelum sempat Cambai bertanya, ular besar itu berkata,”Ambillah, sebagai bekal engkau. Sampaikan salamku pada amai engkau. Aku yakin, dia berani memotong ekorku karena sangat sayang padamu.”
    Cambai hanya bisa termangu melihat kepergian ular itu, merayap perlahan menuju hutan lebat di belakang teratak. “Terima kasih, sahabat!” Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Kemudian Cambai memungut benda yang disemburkan ular tadi. Ternyata tiga buah berlian, berkilauan terkena cahaya matahari. Seperti kilauan butir-butir airmata Cambai. Air mata bahagia!***

Tak Tindam Tak Kuteteh

“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Apo caro urang buladang (Bagaimana cara orang berladang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
    Suara nyanyian itu bersipongang di dalam hutan. Menggema di antara pepohonan besar dalam rimba. Berirama lembut, membuai-buai. Kadangkala terdengar bagai ratapan, lain waktu terdengar seperti selingan musik di antara pekik siamang dan kicauan burung.
    Pak Andie dan Mak Andie tertegun. Sudah sekian lama mereka hidup. Belum pernah mereka mendengar suara semerdu itu. Seperti suara bidadari yang turun dari kayangan.
Keduanya masih mendengarkan irama nyanyian itu dengan penuh minat. Bukan hanya itu, mereka malah berhenti bekerja menebas hutan. Hati dan pikiran mereka kini tertuju kepada suara nyanyian itu. Padahal sejak turun menebas hutan untuk membuat ladang, hampir tak pernah mereka berhenti bekerja. Dari pagi sampai petang mereka terus dan terus bekerja. Kadang-kadang malam pun mereka menebas, bersuluh obor. Makan pun kadang mereka lupa saking asyiknya bekerja.
Dulu, konon kabarnya di kampung Telukriti Pak Andie dan Mak Andie memang terkenal sebagai sepasang petani yang rajin dan kaya. Mereka juga sangat dermawan, suka menolong, suka memberi. Tetapi mereka jarang bergaul dengan penduduk kampung. Mereka selalu sibuk bekerja. Untuk mengasuh anak mereka yang masih kecil pun diserahkan pada seorang pembantu. Padahal di masa itu tak ada orangtua mencari pengasuh bagi anak-anaknya. Apalagi itu anak pertama, anak tunggal mereka.
Tetapi itulah, mereka hanya punya satu keinginan, yaitu ingin tetap kaya-raya. Bahkan ingin lebih kaya lagi dari sekarang. Dan satu-satunya cara agar lebih kaya hanya dengan bekerja keras, membuat ladang seluas-luasnya. Menebas dan menebang hutan seluas-luasnya pula.
    Tetapi suara nyanyian itu? Mengapa nyanyian itu begitu menggoda mereka? Dari mana sumber suara itu?
    Semula mereka menduga suara itu berasal dari penyadap karet di kebun
sebelah hutan tempat mereka menebas. Akan tetapi setelah berjohu beberapa kali dan tak ada sahutan, keduanya tidak yakin itu suara penyadap karet. Berjohu maksudnya berteriak lantang dengan tujuan memanggil seseorang yang jauh dan tidak tampak. Lagi pula tidak mungkin nyanyian itu bisa seindah dan semempesona seperti itu kalau hanya dilagukan
oleh seorang penyadap karet. Kecuali kalau penyadap karet itu memakai putunang.
Menurut kepercayaan orang kampung Telukriti, ada orang-orang tertentu yang bisa menyanyi atau meniup suling diiringi dengan ilmu gaib, ilmu penunduk hati. Sehingga orang yang mendengar nyanyian itu tunduk terpesona kepada si penyanyi atau si peniup suling. Ilmu penunduk hati melalui suara itu disebut putunang. Memang putunang yang sering dilakukan biasanya melalui suling. Tetapi orang yang sudah ahli menggunakan ilmu putunang, bisa saja melakukannya melalui suara nyanyian bahkan lewat siulan.
Jadi benarkah nyanyian itu berasal dari suara seseorang? Jangan-jangan nyanyian itu berasal dari hantu penunggu hutan? Jembalang tanah? Atau orang bunian? Konon orang bunian juga bisa berubah wujud seperti manusia. Bahkan kata orang kampung, beberapa orang dari dukun di kampung Pak Andie dan Mak Andie kawin dengan orang bunian.
Entahlah, yang jelas kini Pak Andie dan Mak Andie makin penasaran. Sementara irama nyanyian itu secara perlahan masuk merasuk ke dalam hati dan pikiran mereka. Sehingga tanpa sadar mereka terbuai dalam irama itu, kemudian mengikuti irama itu dengan sepenuh rasa. Mereka bernyanyi, bernyanyi dan terus bernyanyi seraya menjawab suara nyanyian gaib itu :
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Butanam pisang kuladi (Bertanam pisang keladi)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Agaknya, si pemilik suara di hutan sebelah merasa senang. Nyanyian Pak Andie dan Mak Andie langsung disahutnya dengan suara melengking tinggi : 
“Kuladi dimakan bongai (Keladi dimakan ulat)
Bongai dicotok ayam (Ulat dipatuk ayam)
Ayam dicokou musang (Ayam ditangkap musang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
Suara itu luar biasa dahsyat. Seperti membubung ke angkasa, kemudian merayap di lembah-lembah, menyapa pepohonan besar berdaun lebat, menggetar-kan sukma menundukkan jiwa. Sukma dan jiwa Pak Andia dan Mak Andie.
Keduanya saling berpandangan sejenak. Mereka tak bisa lagi menahan rasa penasaran yang makin kuat menggelitik rasa ingin tahu mereka. Mereka sudah lupa pada pekerjaan mereka, lupa pada tebasan yang belum selesai. Keduanya kini melangkah ke arah suara. Mula-mula perlahan, berhati-hati, mengendap-endap. Tetapi makin lama makin cepat, makin bergegas.
Setelah jauh masuk ke hutan, tiba-tiba Pak Andia mengghentikan langkah. Mak Andie juga berbuat hal serupa. “Tak mungkin sejauh ini,” ucap Pak Andie pada isterinya.
“Iya, ya! Tadi suara itu terdengar sekitar sini,” sahut Mak Andie dengan nafas terengah-engah.
Lama keduanya terdiam. Mereka kini jadi sangsi. Jangan-jangan benar dugaan mereka tadi. Suara itu benar-benar berasal dari orang bunian. Atau suara penunggu hutan yang menidurkan anaknya. Konon kata orang kampung, hantu hutan biasanya menidurkan anaknya pada siang hari.
Pak Andie dan Mak Andie kembali bernyanyi. Mengulang-ulang nyanyian tadi, beriba-iba, membuai merdu. Namun tak ada sahutan, tak ada suara yang memukau. Suara itu seperti raib ditelan pepohonan besar yang tegak kokoh bagai kaki-kaki raksasa di sekeliling mereka.
“Mengapa dia diam?” tanya Mak Andie risau.
Pak Andie hanya menggeleng. Namun kemudian dia menyahut dengan suara mengambang,”Mungkin karena syair lagunya diulang-ulang.”
“Maksud Bapak?”
“Lanjutkan lagunya, ciptakan jawaban nyanyian tadi.”
“Tadi sampai mana, Pak?” Mak Andie mencoba mengajuk pikiran suaminya.
Pak Andie tidak menjawab, tetapi langsung bernyanyi :
“Kuladi dimakan bongai (Keladi dimakan ulat)
Bongai dicotok ayam (Ulat dipatuk ayam)
Ayam dicokou musang (Ayam ditangkap musang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
“Kolou bongai dicotok ayam, ayam dicokou musang, musang mungapo, Pak?” tanya Mak Andie bingung dalam bahasa kampung mereka.
“Musang disalak anjiang.”
“Mengapa begitu pula?”
“Suka hati kitalah,” jawab Pak Andie singkat.
“Mana pula bisa suka hati.”
“Yang penting kan bernyanyi. Supaya nyanyian kita disahuti,” tangkis Pak Andie tak mau kalah. Dan tanpa menunggu Mak Andie bicara, dia langsung melanjutkan nyanyian :
“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Musang disalak anjiang (Musang disalak anjing)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
Tetap tak ada sahutan. Hutan sekitar mereka tetap sunyi.
“Tak tindam tak kuteteh ((Tak tindam tak kuteteh)
Anjiang ditangkok rimau (Anjing ditangkap harimau)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
Baru saja Mak Andie selesai bernyanyi, sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara nyanyian :
        “Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Rimau ditimpo pungguo (Harimau ditimpa tunggul lapuk)
Pungguo dimakan api (Tunggul lapouk dimakan api)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
    “Sudahlah, berarti itu suara bunian atau hantu hutan,” ucap Pak Andie sejurus kemudian. “Kalau kita kejar ke sana, dia akan terus berlari lebih jauh lagi,”tambahnya.
    “Tapi kita harus menemukannya, Pak!” Mak Andie tak mau mengalah.
    “Ingat, Mak. Banyak cerita orang bunian bisa menyesatkan orang. Kita nanti tak tahu jalan pulang,” kata Pak Andie lagi, mengingatkan isterinya. Akan tetapi Mak Andie sudah terlanjur tergoda pada suara itu. Dia bersikeras ingin mencari sumber suara itu.
Pak Andie akhirnya mengalah. Mereka terus melangkah, makin jauh ke dalam hutan lebat, menuju suara nyanyian. Dan baru saja beberapa langkah mere-
ka berjalan, terdengar lagi suara nyanyian yang mendayu-dayu itu :
“Api ditimpo ujan (Api ditimpa hujan)
Ujan disapu angin (Hujan disapu angin)
Angin tutumbuk ku gunung (Angin tertumbuk ke gunung)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
    Sambil berjalan, Mak Andie menyahut :
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Gunung digoyang gompo (Gunung digoyang gempa)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
    Suara nyanyian itu menyahut dengan suara melengking tinggi :
“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Gompo, buncano dai Allah (Gempa,  bencana dari Allah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
Suara yang tadi melengking tinggi, kini makin lama makin perlahan, perlahan dan terus makin pelan sampai akhirnya redup seperti sumbu lampu yang kehabisan minyak.
Pak Andie dan Mak Andie berhenti. Lalu melantunkan nyanyian, mengulang syair-syair nyanyian itu dari awal. Dengan harapan akan ada suara sahutan, suara nyanyian yang memukau itu.
Akan tetapi sampai senja mereka bernyanyi, tetap saja suara yang mereka tunggu tak terdengar. Dan memang tak akan terdengar lagi. Maka dengan beriba-iba hati, Mak Andie pun untuk ke sekian kalinya melantunkan nyanyian itu yang sekali-sekali diselingi oleh Pak Andie :
“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Apo caro urang buladang (Bagaimana cara orang berladang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Butanam pisang kuladi (Bertanam pisang keladi)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Kuladi dimakan bongai (Keladi dimakan ulat)
Bongai dicotok ayam (Ulat dipatuk ayam)
Ayam dicokou musang (Ayam ditangkap musang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Musang disalak anjiang (Musang disalak anjing)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Anjiang ditangkok rimau (Anjing ditangkap harimau)
Rimau ditimpo pungguo (Harimau ditimpa tunggul lapuk)
Pungguo dimakan api (Tunggul lapouk dimakan api)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
 Api ditimpo ujan (Api ditimpa hujan)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Ujan disapu angin (Hujan disapu angin)
Angin tutumbuk ku gunung (Angin tertumbuk ke gunung)
Gunung digoyang gompo (Gunung digoyang gempa)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”

“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Gompo, buncano dai Allah (Gempa,  bencana dari Allah)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
Mak Andie menangis. Dia seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Dalam keadaan masih sesenggukan menahan isaknya, Mak Andie diajak oleh Pak Andie pulang.
Celakanya, apa yang dikhawatirkan Pak Andie tadi benar. Mereka tak tahu lagi jalan menuju pulang. Mereka tersesat. Berhari-hari mereka mengembara dalam hutan. Makan dari buah-buahan dan dedaunan hutan.
Dalam pada itu Mak Andie makin teringat pada anaknya. Penyesalan mulai menguasai hatinya. Untuk pelipur hatinya yang disesaki rasa sesal dan gundah, Mak Andie kembali melantunkan nyanyian Tak Tindam Tak Kuteteh. Berulang-ulang nyanyian itu dia lantunkan. Kadangkala disahuti olej Pak Andie yang juga larut dalam kesedihan dan penyesalan. Akan tetapi makin asyik mereka bernyanyi, rindu pada anak yang mereka tinggalkan serasa semakin menyesak dada. Dalam hati dia berjanji, tak akan lagi meninggalkan anaknya pada pengasuhnya.
Dan Mak Andie menepati janjinya. Ketika sepekan kemudian penduduk kampung menemukan mereka di bawah pohon jejawi, pohon beringin, dia menciumi anaknya dengan sepenuh rasa sayang. Dan bila anaknya menangis, dia pun bernyanyi :
“Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Apo caro urang buladang (Bagaimana cara orang berladang)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)
Tak tindam tak kuteteh (Tak tindam tak kuteteh)”
Sejak itu, nyanyian “Tak Tindam Tak Kuteteh” menjadi nyanyian pengantar tidur anak-anak di kampung Telukriti, yang ditembangkan di ladang-ladang, di semilir angin yang menghembuskan harum bunga padi. ***

Asal Mula Ekor Harimau dan Beruang

Seekor kambing buta, berjalan terseok-seok di antara pepohonan hutan yang tumbuh rapat. Terkadang kepalanya menyeruduk semak, lain waktu terbentur pohon, malah kadang terjerembab karena kakinya tersangkut akar. Setiap kali dia terjatuh, setiap kali itu pula dia mengaduh, mengembek.
Walaupun begitu dia terus berjalan. Mendengus-dengus menciumi dan mencari  dedaunan untuk dimakan. Akan tetapi belum juga dia menemukan daun muda untuk dimakan. Padahal sudah setengah hari dia berjalan.
Memang terik matahari yang memanggang bumi tidak terasa olehnya karena terlindung oleh pepohonan hutan yang berdaun lebat. Namun rasa haus yang menyerang tenggorokannya sudah tak tertahankan. Apalagi sampai saat itu
dia juga tidak menemukan air untuk diminum.
Tapi tak ada pilihan lain. Kambing buta itu terpaksa terus berjalan, terus tertatih-tatih, meraba-raba, menciumi dedaunan, menyeruduk ke sana ke mari sambil menahan perih lapar dan gejolak rasa haus yang serasa membakar kerongkongannya.
Dalam keadaan lelah dan lapar itulah, tiba-tiba dia mendengar suara berisik dedaunan kering. Dan itu membuatnya seketika berhenti. Sebagai hewan yang lemah dan buta pula, kambing itu selalu waspada akan bahaya yang mengancam dirinya. Makanya dia memasang telinga baik-baik.
Apakah ada binatang buas yang mengintai dan hendak menerkamnya? Tiba-tiba saja kambing buta itu merasa kecut. Takut bukan main. Berbagai pikiran buruk menghantuinya. Jangan-jangan ular besar, harimau ganas atau beruang api? Berbagai jenis binatang buas lainnya berkelebat dalam pikirannya. Tetapi di antara binatang buas itu, yang paling ditakutinya adalah harimau. Binatang yang paling kejam dan bengis. Katanya dia raja rimba, tetapi suka menerkam dan memangsa binatang lainnya. Raja rakus dan kejam, membunuh rakyatnya sendiri.
Harimaukah itu?
Kambing buta masih tegak terpaku. Tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu harus berlindung kemana. Sementara suara daun kering yang berisik semakin dekat. Bahkan kedengarannya sedang menujuk ke arahnya. Dalam ketakutan itu,
akhirnya kambing buta berbalik dan lari.
Akan tetapi baru beberapa langkah dia berlari, kepalanya membentur pohon besar. Dia terpental, pening. Rasa nyeri kepalanya ditahannya. Dia segera berusaha bangkit, hendak lari lagi. Menjauh dari suara yang semakin dekat ke arahnya.
“Hei, Kak Kambing!” sebuah suara kecil tiba-tiba menyapanya. Kambing buta yang hendak berlari kini menoleh ke belakang. Meskipun dia sadar bahwa dia juga tak bisa melihat. Akan tetapi setidaknya dia bisa mengurangi rasa takutnya. Apalagi suara itu terdengar ramah dan sangat bersahabat. Maka seketika itu juga semua rasa takutnya pupus. Rasa cemasnya berganti rasa senang. Oleh karena itulah dia memberanikan diri bertanya,”Engkau siapa, Kawan?”
“Ah, masa lupa. Aku kancil!”
Deg. Hati kambing berdegup tak tenang. Dia kembali curiga. Sudah sering dia mendengar cerita tentang kecerdikan kancil. Dengan kecerdikan dan kelicikannya, harimau pun bisa ditaklukkannya. Berkali-kali harimau ditipu oleh kecerdikan kancil.
Jangan-jangan kancil ini juga hendak menipuku. Sedangkan harimau yang ganas saja berani dia permainkan, apalagi aku yang buta. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku tak hendak ditipu.
“Kenapa diam? Apakah Kak Kambing tak bersedia aku temani?” tanya kancil tiba-tiba.
“Bukan, bukan begitu,” kambing buta menjawab dengan tergagap. Lalu
melangkah perlahan menghampiri kancil.
Melihat kambing berjalan terseok-seok ke arahnya, kancil menjadi iba. Cepat dia menyongsong kambing buta itu seraya bertanya,”Sudah dapat makanan?”
     Secepatnya kambing buta menggeleng, sedih.
    “Kebetulan, aku pun belum makan sejak pagi. Tadi aku bangun agak kesiangan,” terang kancil dengan jujur. Suaranya penuh dengan keriangan. Seperti biasanya, kancil memang hampir tak pernah memperlihatkan kesedihannya. Dimana saja dia berada dia selalu ceria.
    “Kebetulan bagaimana maksudmu?” tanya kambing tak bisa menyembunyikan rasa curiganya. Bukankah temannya pernah mengatakan, ”Jangan pernah percaya kepada mulut manis dan rayuan kancil.”
    “Karena kita sama-sama belum makan, bagaimana kalau kita cari makan bersama-sama.”
    Kambing buta terdiam. Rasa curiganya kepada kancil makin kuat. Bukankah makanan kancil juga daun-daun muda dan buah-buahan hutan? Jangan-jangan nanti dia yang dapat makanan enak, awak dapat sisanya, pikir kambing buta. Tetapi tak ada jalan lain. Perutnya sudah lapar, tekaknya kering, terbakar rasa haus. Maka dia pun berkata,”Kalau begitu ayolah. Kau naik ke punggungku. Kau yang menjadi penunjuk jalan.”
    Dengan berkata begitu kambing buta tak perlu lagi cemas tidak kebagian
makanan. Tak mungkin kancil memakan makanan yang enak sendirian. Kalau kancil mendapat makanan, tentu dia juga mendapat makanan yang sama. Sebab kancil berada di atas punggungnya.
    “Ah, masa begitu. Tak sampai hati aku duduk di atas punggung Kak Kambing,” elak kancil tulus.
    Nah, kan. Kancil cerdik itu tak mau menerima usulku, pikir kambing. Sebab dengan begitu dia tak bisa menipuku. Tetapi kalau dipikir-pikir, apanya yang mau ditipu kancil? Kalau dia mau mencari makanan sendiri, tak perlu dia mengajakku. Dia bisa mencari sendiri makanannya. Dia bisa melihat kemana saja dia mau pergi mencari makanan. Ah, tak seharusnya aku mencurigainya.
    Berpikir begitu, kambing buta akhirnya menjawab,”Ah, berapalah beratmu. Tak akan penat aku mendukungmu.”
    “Iyalah, kalau sudah begitu mau Kak Kambing,” kata kancil akhirnya seraya melompat ke punggung kambing. Dan begitu kancil berada di punggungnya, kambing pun mulai melangkah, berjalan menerobos kelebatan hutan dipandu oleh kancil.
    “Ke kiri,” kata kancil dengan suara pelan, berbisik. Kambing berbelok ke kiri. “Kanan,” bisik kancil pula. Kambing pun dengan patuh berbelok ke kanan. Kiri-kanan, kiri-kanan, kiri, kiri, kanan, kanan, kanan, kanan, begitu seterusnya. Kancil memberikan aba-aba dengan berbisik. Kambing pun mengikutinya dengan
patuh.
    Tingkah laku keduanya sempat menarik perhatian binatang lainnya. Mereka memandang heran ke arah keduanya dari jarak jauh. Tak ada yang berani mendekat. Ada rasa penasaran dan takut menghantui mereka. Ya, ada binatang aneh, binatang berkepala dua.
    Dalam waktu yang tak lama berselang, hutan yang mereka lalui menjadi gempar. Binatang-binatang berlarian ketakutan, berteriak-teriak dengan suara khasnya masing-masing. Sekawanan babi menyeruduk gumpalan akar, segerombolan kera berlompatan menjauhi jalan yang akan dilalui kambing buta dan kancil. Siamang memekik nyaring sambil berayun dari pohon yang satu ke cabang pohon yang lain. Sepasang rusa hampir menabrak sekawanan babi yang kebingungan dalam gumpalan akar. Semua panic, semuanya ingin berlari sekencang-kencangnya, menjauh dari binatang aneh, binatang
berkepala dua.
    Di antara binatang-binatang yang berlari ketakutan itu, tampak seekor beruang dengan langkah lamban berdebam-debam menahan berat badannya yang tembam. Saking paniknya, dia tidak tahu kalau di depannya sudah berdiri seekor harimau.
    “Hei, siapa yang mengejarmu?” bentak harimau heran sambil mengejek. “Dasar penakut, pandainya cuma lari terbirit-birit.”
    Beruang terkejut dan berhenti mendadak. Matanya liar menatap harimau,
mengawasi gerak-gerik binatang buas itu. Harimau pun makin pasang aksi. Digerak-gerakkannya kumisnya, dingangakannya mulutnya, memperlihatkan dua taringnya yang tajam.
    “Apa yang engkau takutkan?” tanya harimau lagi melihat beruang terengah-engah. Suaranya semakin menggelegak membentak beruang.
    Dengan gemetar, karena takut melihat binatang berkepala dua dan juga takut mendengar suara bentakan harimau, beruang menceritakan semua yang dilihatnya.
    “Binatang aneh? Berkepala dua?” tanya harimau mengejek setelah mendengar cerita beruang. “Jangan jadi pengcut. Ayo, bawa aku ke sana!” lanjut harimau dengan congkak.
    “Engkau berani?” tanya beruang ragu.
    “Eee, kau jangan menyepelekan aku, ya! Apa kau lupa aku ini raja rimba?” sergah harimau lagi makin  keras. Dia benar-benar tersinggung oleh ucapan beruang.
    “Bukan begitu….”
    “Ah, sudah. Jangan banyak cakap. Ayo, kita ke sana,”potong harimau tak sabar dengan rasa sombongnya.
    Akan tetapi beruang tidak segera beranjak pergi. Dia masih ragu pada keberanian harimau. Ya, meski harimau adalah raja rimba, tetapi kepalanya kan hanya satu. Mana mungkin dia berani melawan binatang berkepala dua. Bahkan tadi dia sendiri melihat, gajah saja lari terbirit-birit melihat binatang berkepala dua itu.
    “Kenapa diam? Ayo, kalau perlu kuremuk dan kumakan kedua kepala binatang itu!” desak harimau makin tak sabar.
    “Beginilah, Kawan. Sebelum menemui binatang berkepala dua itu, kita harus sepakat dulu,” ucap beruang.
    “Sepakat apa?”
    Beruang ragu lagi. Tetapi dia tidak berani menatap harimau.
    “Ayo, katakan!”
    “Engkau benar-benar mau melihat….”
    “Bukan hanya melihat. Tetapi meremukkan dan memakan kedua kepalanya,” potong harimau jengkel.
    “Engkau meragukan aku?” sergah harimau lagi melihat beruang terdiam.
    “Beginilah, kalau kau mau melawannya aku juga ikut. Tetapi kalau ternyata kita kalah, kita juga harus sama-sama berlari,” usul beruang akhirnya.
    “Iyalah, ayo!” jawab harimau tanpa pikir panjang. Dia benar-benar jengkel melihat beruang yang meragukan kemampuannya. Kalau bukan karena dia ingin melihat binatang aneh itu, tentu dia tak bisa lagi menahan marahnya kepada beruang.
    Meskipun didesak begitu, beruang belum juga puas. Dia tahu, kalau sempat mereka kalah melawan hewan aneh itu, harimau pasti lari. Dan beruang pasti kalah cepat daripada harimau. Oleh karena itu dia pun berkata,”Kalau begitu lebih baik ekor kita saling diikatkan, supaya kita selalu bersama.” 
    Karena jengkel, harimau langsung saja menyetujui usul beruang. Makanya tanpa banyak bicara dia membantu beruang mengikatkan ekor mereka. Setelah itu keduanya segera berjalan dengan perlahan.
    Memang berjalan dengan ekor saling terikat tidak semudah yang mereka duga. Mereka harus mengatur langkah agar seirama sehingga keduanya dapat berjalan dengan baik. Mula-mula memang terasa kikuk, tetapi makin lama makin serasi, makin cepat dan cepat.
    Tidak terlalu jauh berjalan, mereka akhirnya bertemu dengan hewan berkepala dua itu. Seketika itu juga beruang berteriak,”Itu dia!”
    Tidak menyangka bertemu secepat itu, juga terkejut oleh teriakan beruang, harimau mendadak tertegun. Kambing buta yang mendengar teriakan beruang itu juga berhenti mendadak. Pada saat itu juga kancil berbisik ke telinga kambing bahwa di depan mereka ada harimau dan beruang. Kancil menyuruh kambing agar mengangakan mulutnya lebar-lebar untuk menakut-nakuti harimau dan beruang. Sementara itu kancil berusaha duduk dengan tenang, pura-pura tidak melihat kehadiran beruang dan harimau.
    “Bagaimana ini?” bisik beruang gemetar.
    Semula kambing ragu. Iya kalau harimau dan beruang takut, kalau sebaliknya? Harimau menerkam mereka, beruang mengerkah kepala mereka,
mengoyak-ngoyak tubuh mereka?
 Akan tetapi keraguan itu hanya terjadi beberapa saat. Desakan kancil yang bertubi-tubi akhirnya membuat kambing jadi nekad. Lagi pula saat itu juga dia ingat betapa kancil adalah temannya yang cerdik. Maka tiba-tiba saja dia mengengakan mulutnya. Bukan hanya mengangakan mulut tetapi juga melompat dan berlari ke arah harimau dan beruang sambil berteriak sekuat-kuatnya. “Hei, ke sini kau!” teriaknya dengan suara dibesar-besarkan.” Si Belang dan si Hitam, kalianlah makanan empuk yang kucari-cari selama ini!” lanjut kambing makin bersemangat. Kancil punikut-ikutan membesarkan suaranya. Sehingga suara keduanya terdengar aneh, menggelegar, menggema ke dalam hutan.
Mendengar pekikan dahsyat binatang aneh berkepala dua itu, serta merta harimau berbalik sambil melompat sekuat-kuatnya. Saking kuatnya lompatan harimau, ekornya dan ekor beruang yang masih saling terikat, putus. Pekik lolong kesakitan harimau dan beruang lebih dahsyat lagi, bergema mengejutkankan seluruh penghuni hutan.
Konon, itulah sebabnya ekor harimau sampai sekarang berbelang hitam. Warna hitam itu berasal dari ekor beruang. Sedangkan beruang nyaris tak punya ekor karena habis putus akibat sentakan ketika harimau melompat. ***

Sumber : Abuhasan

Gong Pusaka

Angin siang berdesir lembut. Saat-saat begini, kantuk benar-benar sering menggoda. Begitu juga yang dialami kancil. Dia tak dapat menahan kantuknya. Perlahan namun pasti matanya mulai terpejam. Dia terbaring, meringkuk dekat pangkal pohon kondung. Pohon kayu yang terkenal banyak mengandung air. Dan tentu saja beristirahat di siang yang terik begini sangat cocok di bawah pohon rindang yang sejuk itu. Apalagi di bawah, dekat pangkal pohon penuh dipadati dedaunan kering. Terhampar bagai tilam yang empuk.
    Pada waktu dia nyaris tertidur, sayup-sayup dia mendengar dengungan di
atasnya. Maka dengan agak malas kancil membuka matanya sedikit, melihat ke
atas. Di sana terlihat sebuah gumpalan. Kancil jadi penasaran, dia tak jadi melanjutkan tidurnya. Malah kini dengan mengendap-endap dia mendekati gumpalan itu. Alangkah terkejutnya kancil, gumpalan itu ternyata sarang tubuan. Ya, sarang tubuan. Dia tahu betul, tubuan adalah sejenis tawon paling ganas. Makanya seketika itu juga dia mundur beberapa langkah. Dia tak ingin celaka diserang oleh tubuan-tubuan itu.
    Suara dengungan tubuan-tubuan itu membuatnya merinding ketakutan.
    Mendadak rasa kantuknya hilang. Berganti dengan rasa cemas. Dan pada saat itu pula tiba-tiba dia mencium bau sesuatu. Maka dia mengendus-enduskan hidungnya ke udara, ingin memastikan bau yang sempat tercium olehnya. Apalagi angin siang bertiup lembut. Bau asing itu makin jelas tercium. Bau binatang lain! Binatang apa?
    Kancil mengedar pandang berkeliling. Matanya tajam mengamati setiap gerak yang ada di sekitarnya. Hidungnya makin dipertajam, mengendus-endus udara.
    Harimau! Ya, di antara semak-semak di belakangnya, tampak harimau mengendap-endap sedang mengintainya. Makin lama makin dekat, makin jelas belangnya di antara semak-semak hutan.
    Gawat! Kancil mendadak gugup. Dibanding tubuan, harimau lebih berbahaya. Kalau hanya tubuan, dia bisa meninggalkan tempat ini dengan tenang. Pasti tubuan tidak akan mengusiknya.
    Tapi harimau?
    Apa akal?
    Secepatnya pikiran kancil berputar, berpikir keras. Dia harus menemukan cara untuk meninggalkan tempat ini. Ada juga terniat hendak lari. Tapi rasanya sudah terlambat. Kancil pasti kalah cepat dibandingkan dengan harimau itu.
    Maka kancil pun segera pasang aksi. Dia pura-pura tidak melihat kehadiran harimau. Kini malah dia berjalan tenang ke arah sarang tubuan yang tadi sangat ditakutinya. Lalu persis di bawah sarang tubuan, dia berhenti.
    Meski dia takut setengah mati, kancil berusaha menenangkan dirinya. Bagaimana tidak! Jika salah-salah bergerak, tubuan-tubuan itu akan menyerang-
nya, seluruh tubuhnya akan bengkak, atau malah dia akan buta karena matanya digigit dan disengat tubuan. Bergidik juga dia membayangkan hal ini. Akan tetapi bukan kancil namanya kalau tidak pandai bersandiwara.
    Dengan gaya khasnya yang penuh tipuan, dia duduk tenang di bawah sarang tubuan. Lalu diambilnya sebatang ranting. Seterusnya mulutnya komat-kamit seperti membaca sesuatu. Makin lama suaranya makin jelas terdengar.
        “Kayu torok kayu turontang (Kayu terap kayu terentang)
        Ditimpo galo-galo (Terjatuh semuanya)
        Hujan sudorok ari nak potang (Hujan sekilas hari kan petang)
        Tandonyo malam ondak tibo (Tandanya malam akan tiba)”
    Dan benar. Pancingan kancil mengena. Harimau yang semula bersiap-siap
hendak menerkam kancil, tiba-tiba terdiam. Dia tertegun sambil memasang telinga lebih tajam. Dia tertarik mendengar nyanyian kancil.
    Tapi dasar kancil binatang cerdik, dia tak melanjutkan nyanyiannya. Dibiarkannya harimau tertegun penasaran. Detik berikutnya dia berpura-pura memukulkan ranting ke arah sarang tubuan. Sedangkan dari mulutnya keluar bunyi,”Gung-gung, gung-gung, gung gung-gung, gung!” Seperti suara gong yang dipukul.
    Harimau masih tertegun. Dari belakang kancil dia melihat kancil benar-benar sedang memukul sesuatu. Tentu saja dia tidak melihat mulut kancil yang bergerak-gerak mengeluarkan bunyi gong. Dia menyangka, suara gong itu benar-benar berasal dari benda yang dipukul kancil.
    Niat hendak menerkam kancil benar-benar batal. Kini harimau keluar dari persembunyiannya. Berjalan perlahan menuju kancil yang asyik dengan gongnya. Sekali-sekali disela dengan nyanyian :
        “Kayu torok kayu turontang (Kayu terap kayu terentang)
        Ditimpo galo-galo (Ditimpanya segalanya)
        Hujan sudorok ari nak potang (Hujan sekilas hari kan petang)
        Tandonyo malam ondak tibo (Tandanya malam akan tiba)”
    “Nyanyian apa itu, Kawan?” tanya harimau akhirnya. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Apalagi kalau disimak, tidak ada hubungan kalimat yang ada dalam nyanyian itu dengan benda yang dipukul kancil.
    Akan tetapi kancil pura-pura tak mendengar. Dia makin asyik memukul
gongnya. Tentu saja mulutnya terus mengeluarkan suara khas gongnya. “Gung-gung, gung-gung, gung, gung-gung, gung….”
    Meski dia yakin tipuannya berhasil, kancil tetap saja merasa takut. Sebab harimau itu hanya berada sedepa di belakangnya. Kalau dia mau menerkam, tamatlah riwayat kancil. Makanya untuk kesekian kalinya kancil melirik dengan sudut matanya sambil terus berpura-pura memukul sarang tubuan. Bunyi tubuan yang berdengung-dengung ditingkah oleh bunyi mulut kancil menciptakan irama aneh, seronok membuai-buai.
“Apa itu, Cil? Saking asyiknya sampai tak dengar engkau aku tegur,” ucap harimau lagi sambil mencuil belakang kancil. Suaranya yang keras dan kukunya yang tajam membuat kancil terkejut. Jangan-jangan kulit punggung kancil lecet tergores.
“O, maaf! Sudah lama, Kak Harimau?” tanya kancil berusaha tenang. Karena harimau sudah di depannya, kancil berhenti berpura-pura memukul sarang tubuan.
“Tidak juga. Aku kemari karena mendengar suara benda yang engkau pukul itu,” ucap harimau berbohong.
“Ah, masa iya?”
“Betul!”
“Sejak dimana Kak Harimau mendengar suara gong ini?”
Harimau tertegun sejenak. Takut bohongnya ketahuan. Namun kemudian
dia segera berkata,”Dari balik semak-belukar sana.”
“Sejauh itu?” tanya kancil pura-pura heran. “Setahu saya suara gong ini tidaklah terlalu kuat. Ini gong pusaka….”
“Gong pusaka? Maksudnya?” potong harimau tak sabar.
Kancil merasa minat harimau pada benda yang dipukulnya begitu besar. Makanya dia berkata,”Ini gong yang diwariskan turun-temurun sejak nenek-moyang saya. Sekarang tepatlah pada keturunan saya yang bertanggungjawab merawat gong ini. Tetapi ya, itu tadi. Suara gong ini tidaklah terlalu kuat.”
    Harimau tergagap. Dia merasa bohongnya diketahui oleh kancil. Oleh karena itu dia cepat bicara,”Maksudku, kebetulan aku lewat di sini. Begitu dengar suara gong, aku berhenti. Ee, taunya engaku yang memukul gong.”
    “O, begitu,” ucap kancil seraya berpura-pura hendak memukul gong itu kembali. Namun secepatnya harimau berkata,”Gantianlah. Biar aku pula yang memukulnya. Indah betul kudengar suaranya.”
    “Kak Harimau hendak memukul gong ini?” tanya kancil pura-pura terkejut dan heran. “Ini gong pusaka, Kak. Ndak bisa dipukul sembarangan. Harus pakai mantra memukulnya. Kalau tidak, gong ini tak mau berbunyi,” lanjut kancil.
    “Ah, masa,” harimau tidak percaya. “Sini kupukul,” lanjutnya menantang kancil. Watak aslinya kembali tampak, pemarah dan bengis.
    “Jangan, Kak. Kumohon jangan. Ini gong pusaka nenek-moyang kami.
Kakak nanti yang akan kualat,” kancil memohon mengiba-iba.
    Harimau makin marah. Dia mengancam akan menerkam kancil jika tidak dibolehkan memukul gong pusaka itu.
    “Cepat ajarkan aku mantranya!” sergah harimau menggeram.
    “Kalau Kakak berkeras juga, baiklah. Tapi kalau….”
    “Jangan banyak omong. Cepat ajarkan aku!” potong harimau sambil menggerak-gerakkan kumisnya.
    Maka kancil pun kembali membaca mantra, seperti bernyanyi :
        “Kayu torok kayu turontang (Kayu terap kayu terentang)
        Ditimpo galo-galo (Ditimpanya semuanya)
        Hujan sudorok ari nak potang (Hujan sekilas hari kan petang)
        Tandonyo malam ondak tibo (Tandanya malam akan tiba)”
    Setelah diulang beberapa kali, akhirnya harimau dapat menghafal mantra itu. Dan kini dengan angkuhnya dia mengambil ranting kayu yang ada di tangan kancil.
    “Tunggu, Kak!” Sekali ini mimic wajah kancil benar-benar seperti hendak menangis, memohon pada harimau.
    “Apa lagi?” sergah harimau dengan angkuh.
    “Karena Kakak hendak memukul gong pusaka ini juga. Biarlah aku menjauh dulu. Aku tak ingin arwah nenek moyangku marah kepadaku karena tidak bisa merawat gong ini.”
    “Ya, baik. Pergilah cepat!” kata harimau tanpa menoleh. Hatinya lega sudah mendapat kesempatan memukul gong pusaka itu.
    “Jika kukatakan sudah, barulah Kakak boleh memukul gong ini,” jelas kancil seraya beranjak pergi. Maka secepat kilat kancil pun berlari ke arah semak belukar di tepi hutan lebat. Sekali-sekali dia menyebut kata “belum”.
    Begitu merasa jaraknya dengan harimau sudah cukup jauh, kancil pun berteriak,”Sudaaah!”
    Tanpa menunggu lagi, dengan sekuat tenaga harimau mengayunkan ranting kayu ke sarang tubuan. “Buaar!” sarang tubuan pecah, berhamburan. Dan dari dalamnya tubuan-tubuan beterbangan. Kemudian mengeliabu mencari-cari perusak sarang mereka. Dan detik berikutnya ratusan tubuan itu mengamuk menyerang harimau.
    Dari jauh kancil mendengar pekik lolong harimau yang kesakitan.***
                                      Sumber : Latipah


  

Tuntung Kapuo

Di zaman ninik makan kuluang dulu, di sebuah kerajaan Ontah Dimano, hiduplah Ongah Gakin bersama dua orang putrinya di tepi Batang Lubuh. Putri tertua namanya Tuntung Kapuo. Sedang adiknya dinamakan Puti Bungsu.
Hampir setiap hari kedua beradik itu bermain di tepi Batang Lubuh. Seperti penduduk lainnya, mereka mandi dan mencuci di sungai itu. Selain karena air sungai sangat jernih, di masa itu belum ada orang membuat sumur di rumahnya. Segala keperluan tentang air diambil dari sungai. Bahkan buang hajat
pun di sungai.
Batang Lubuh memang bukan sebuah sungai yang besar. Akan tetapi cukup dalam untuk dilayari oleh kapal. Sehingga banyak juga kapal-kapal ukuran sedang berlalu-lalang melayarinya. Ada yang digerakkan dengan menggunakan
tenaga manusia, didayung bersama-sama. Ada pula yang menggunakan layar.
Kesibukan hilir-mudiknya kapal-kapal dan perahu di sungai itu sudah menjadi pemandangan biasa setiap hari. Para penduduk tidak risih mandi di sungai itu, meski hanya memakai cawat dan perempuan hanya memakai kemban. Terkadang ada juga anak buah kapal yang usil bersuit-suit melihat para gadis mencuci dan mandi hanya dengan memakai kain yang melilit tubuhnya.
Tak sedikit pula para gadis itu senang digoda begitu. Makanya sering juga terdengar para gadis itu mandi sambil bersenandung. Begitu juga Tuntung Kapuo. Hampir setiap turun mencuci atau mandi di sungai dia selalu bersenandung.
Nyanyiannya kadang terdengar menggoda adiknya Puti Bungsu, kadang benar-benar seperti mengejek. Dan memang selama ini keduanya selalu hidup rukun. Itu yang membuat Ongah Gakin bangga kepada kedua putrinya. Walaupun Tuntung Kapuo kadang-kadang suka usil kepada adiknya. Dia suka menyuruh adiknya mengerjakan itu dan ini. Hal itu masih dianggap wajar oleh Puti Bungsu dan abahnya, Ongah Gakin.
Suatu petang, kedua kakak-beradik itu turun ke sungai. Mandi sepulang dari ladang, membersihkan badan dari arang kayu dan debu tanah. Tadi mereka terlalu asyik bekerja di ladang, sehingga agak terlambat pulang. Ketika mandi, hanya mereka berdua di tepi sungai.
Seperti biasa, sambil mandi Tuntung Kapuo bersenandung. Menghibur-hibur badan yang penat, meriang-riangkan hati.
Sedang asyiknya mereka mandi sebuah kapal lewat. Kapal asing, yang sebelumnya pernah lewat di sana. Puti Bungsu sempat terpana memandangnya. Bagaimana tidak. Selain belum pernah dilihatnya, kapal itu tampak megah dan mewah, seperti bermandi cahaya oleh lelampunya.
Tuntung Kapuo tidak menyadari adanya kapal mewah dan megah sedang lewat. Dia terus bersenandung :
Tuntung Kapuo bulancang omeh (Tuntung Kapuo berkapal emas)
tak kitimpung tak kitimpung. (tak kitimpung tak kitimpung)
Puti Bungsu bulancang upih (Puti Bungsu bulancang upih)
tak kitimpung tak kitimpung. (tak kitimpung tak kitimpung)
    Setiap usai satu baris dia bernyanyi, Tuntung Kapuo bukutimbung, yaitu menepuk permukaan air dengan kedua tangannya secara serentak. Sehingga menimbulkan suara gema “bung, kecipak bung”. Semakin pandai seseorang bukutimbung, semakin besar suara gema air itu terdengar. Berdentum-dentum terdengar dari jauh. Tentu saja suara kutimbung dan nyanyian Tuntung Kapuo sampai ke kapal mewah dan megah yang sedang lewat itu.
    “Ada kapal lewat, Kak,” Puti Bungsu memberitahu pada kakaknya.
    “Biarlah, apa pula awak rintang?” sahut Tuntung Kapuo makin asyik bukutimbung dan bernyanyi. Maksudnya mengapa pula kita peduli. Bukankah selama ini sudah biasa kapal lewat di sungai itu? Begitu persangkaan Tuntung Kapuo, sehingga dia tak mengacuhkan ucapan adiknya.
Mendengar jawaban kakaknya, Puti Bungsu diam. Dia mempercepat mandinya. Lalu naik ke tebing sungai. Dari atas tebing dia masih terpesona melihat kemegahan kapal yang lewat itu.
Lewat?
Ah, bukan! Kapal itu kini tampaknya tidak sekedar lewat, tapi malah menuju ke arah mereka. Ya, tak salah lagi. Kapal itu benar-benar sedang menuju ke tempat Puti Bungsu dan Tuntung Kapuo mandi.
Apakah ini mimpi?
Sudah sering kapal lewat di sungai ini, tetapi belum pernah sebuah kapal pun yang singgah di pangkalan penduduk kampung. Termasuk pangkalan tempat Puti Bungsu dan Tuntung Kapuo mandi. Pangkalan maksudnya tempat mandi di sungai. Karena tidak percaya itulah Puti Bungsu berkali-kali memuyu-muyu matanya.
“Kapal itu ke sini, Kak!” teriak Puti Bungsu dari atas tebing setelah yakin pada penglihatannya. Namun Tuntung Kapuo tak mendengar. Dia terus asyik dalam senandung dan bukutim-bung. Semakin lama suara kutimbungnya terdengar semakin berdentum-dentum di senja yang hening.
Sementara kapal itu tampak semakin dekat, semakin jelas pula sosoknya, semakin jelas gemerlap lelampunya. Kapal itu benar-benar kelihatan seperti bermandi cahaya di rembang petang bersafak merah.
Puti Bungsu terperangah, terpesona. Berbagai pikiran buruk berkecamuk
di kepalanya. Apakah kapal itu tersesat? Ataukah kapal itu kapal bajak laut yang hendak menangkap mereka? Tapi mengapa tidak ada tanda-tanda kapal bajak laut? Tidak ada bendera berlambang tengkorak, seperti lazimnya kapal bajak laut.
Tuntung Kapuo bulancang omeh (Tuntung Kapuo berkapal emas)
tak kitimpung tak kitimpung. (tak kitimpung tak kitimpung)
Puti Bungsu bulancang upih (Puti Bungsu bulancang upih)
tak kitimpung tak kitimpung. (tak kitimpung tak kitimpung)
Nyanyian Tuntung Kapuo terus bergema. Suara kutimbungnya berdentum-dentum. Nyanyian dan kutimbung itu baru mendadak berhenti ketika Tuntung Kapuo menyadari di sekitarnya penuh cahaya. Cahaya lampu kapal yang sudah sangat dekat. Saking kagetnya Tuntung Kapuo nyaris terlompat ke tepi sungai.
Ketika itulah sifat aslinya pun keluar. Dia marah-marah kepada Puti Bungsu karena tidak memberitahukan kehadiran kapal itu. Kalau sudah begitu, Puti Bungsu diam saja. Percuma dia memberi penjelasan, Tuntung Kapuo tak  akan mau mendengarkan. Dia tetap juga akan dipersalahkan.
“Apa pula susahnya memberitahu kapal datang,” gerutu Tuntung Kapuo sambil menaiki tebing sungai. “Adik celaka, hendak mempermalukan kakak sendiri agaknya,” lanjutnya seraya menatap geram pada Puti Bungsu.
Puti Bungsu tak menjawab. Dia langsung berbalik hendak pulang, meskipun hatinya masih terpikat dan ingin melihat kapal itu berlama-lama.
“Hei, tunggu!” teriak sebuah suara dari dalam kapal. Kapal sudah merapat
ke pangkalan.
    Tuntung Kapuo dan Puti Bungsu menoleh. Dari dalam kapal tampak beberapa orang lelaki tegak di haluan. Tentulah salah seorang dari mereka yang memanggil tadi.
    “Maaf, adik-adik. Kami mengganggu kalian mandi. Kami sekedar singgah sebentar. Tuan Muda kami sedang mencari calon isteri. Seluruh gadis di kerajaan Ontah Dimano diharapkan berkumpul pada purnama bulan depan di Rimbo Tiang Monyan,” jelas salah seorang pemuda yang berdiri di haluan kapal.
    “Memangnya siapa Tuan Muda kalian? Sombong betul cari calon isteri. Mengapa pula kami yang harus datang?” Tuntung Kapuo menyahut sambil mencibir.
    “Maaf, kami tidak bisa memberitahunya sekarang. Tetapi kami sangat berharap adik-adik datang. Setiap gadis yang datang akan diberi hadiah.”
    “Hadiah apa?” Tuntung Kapuo tampak berminat.
    “Sekali lagi maaf. Kami tidak bisa memberitahunya sekarang.”
    “Uuuh, semuanya pakai rahasia. Jangan-jangan Tuan Muda kamu itu buruk rupa, ya?”
    “Adik-adik boleh lihat nanti. Permisi!” Lalu kapal pun berlayar kembali, meninggalkan pangkalan itu.
Tuntung Kapuo masih memberengut meski kapal itu sudah jauh mening-galkan pangkalan. Tanpa bicara dia bergegas melangkah pulang diikuti oleh Puti
Bungsu yang juga tak bersuara.
    Di rumah, Tuntung Kapuo bercerita panjang lebar pada abahnya, Pak Gakin tentang pertemuan mereka dengan kapal mewah tadi. Juga tentang Tuan Muda yang mencari calon isteri.
    “Sebaiknya kalian ikut, Nak. Mencoba mengadu nasib tidak ada salahnya. Diharap orang datang meminang, rasanya sulit. Pemuda mana yang mau pada orang miskin seperti kita,” ucap Pak Gakin setelah Tuntung Kapuo bercerita.
    “Tapi bagaimana kalau Tuan Muda itu juga miskin, Bah?” tanya Tuntung Kapuo.
    “Mana mungkin orang miskin punya kapal mewah.”
    Tuntung Kapuo tercengang menyadari ketololannya.”Iya, ya, kenapa aku begitu dungu?” teriaknya girang. “Tapi kalau Tuan Muda itu cacat? Pincang atau buta misalnya?” lanjut Tuntung Kapuo.
“Mana mau punya suami cacat atau tidak sama sekali?” tanya Pak Gakin.
Tuntung Kapuo terdiam. Tapi untuk menutupi kelancangannya dia melirik pada adiknya Puti Bungsi secara bertanya,“Kenapa engkau diam saja sejak tadi?”
    “Saya ikut apa kata Abah dan Kakak saja,” jawab Puti Bungsu pelan.
    Begitulah.
    Purnama yang dijanjikan itu datang juga. Tuntung Kapuo dan Puti Bungsu berlayar menuju Rimbo Tiang Monyan. Mereka sudah sepakat akan menghadiri undangan Tuan Muda pemilik kapal mewah itu. Paling tidak mereka hendak
melihat keramaian di Rimbo Tiang Monyan.
    Mereka tahu, Rimbo Tiang Monyan itu hanyalah hutan lebat dengan pepohonannya yang besar. Tak ada orang tinggal di sana, kecuali para petani yang berladang. Jadi tak dapat dibayangkan, bagai-mana hutan yang sunyi itu akan diramaikan oleh para gadis dari seluruh pelosok kerajaan Ontah Dimano.
    Untuk perintang pikiran yang risau, Tuntung Kapuo bernyanyi. Sementara adiknya, Puti Bungsu disuruhnya mendayung dan mengemudikan perahu layar mereka.
“Tuntung Kapuo bulancang omeh (Tuntung Kapuo berkapal emas)
tak kitimpung tak kitimpung. (tak kitimpung tak kitimpung)
Puti Bungsu bulancang upih (Puti Bungsu bulancang upih)
tak kitimpung tak kitimpung. (tak kitimpung tak kitimpung)”
    Nyanyian Tuntung Kapuo melengking tinggi, bergema di sepanjang aliran sungai Batang Lubuh. Sambil bernyanyi, pikiran Tuntung Kapuo terus berkeca-muk. Berbagai pertanyaan mengganyah benaknya. Bagaimana kalau Tuan Muda itu sangat buruk rupa? Bagaimana kalau cacat, lumpuh? Kalau dia buta? Kalau dia penyakitan, tak bisa apa-apa?
    Atau sebaliknya? Dia tampan? Gagah perkasa dan kaya raya? Iya, kalau tidak keturunan raja mana mungkin dia berani mencari calon isteri dengan mengumpulkan seluruh gadis di seluruh pelosok kerajaan. Ya, pasti dia juga tampan.
    Dipengaruhi berbagai pertanyaan ini, muncul niat buruk dalam hati Tuntung Kapuo. Kalau kebetulan Tuan Muda itu buruk atau cacat, biarlah kusuruh dia kawin dengan Puti Bungsu. Lagi pula aku kan bisa menolak lamar-annya. Sebaliknya kalau Tuan Muda itu tampan, lebih patut rasanya aku sebagai calon isterinya, pikir Tuntung Kapuo sambil membanding-bandingkan wajahnya dengan awajah adiknya.
    Dan memang benar. Wajah Tuntung Kapuo jauh lebih cantik dibandingkan adiknya, Puti Bungsu. Akan tetapi Tuntung Kapuo masih ragu. Makanya dia membujuk adiknya,”Kita sudah dekat sampai, Puti. Agar engkau kelihatan cantik, biarlah kurias wajahmu.”
    “Terima kasih, Kak. Tak perlulah saya berias. Biarlah begini saja. Kakak saja yang berias,” jawab Puti Bungsu santun.
    “Apa? Kau menyurhku berias? Apa engkau pikir dirimu lebih cantik dari aku?” sentak Tuntung Kapuo tersinggung. “Semua orang kampung sudah tahu, sudah sering bilang aku ini lebih cantik daripada kamu,” lanjutnya geram.
    “Bukan begitu maksud saya, Kak. Kalau Kakak berias, akan tampak lebih cantik menyerupai bidadari….”
    “Ah, jangan banyak cakap. Kau pikir aku senang mendengar pujianmu?” potong Tuntung Kapuo, lalu memaksa Puti Bungsu agar mau diriasnya.
    Karena tidak ingin bertengkar dengan kakaknya, karena dia tahu sifat kakaknya, Puti Bungsu akhirnya menurut saja. Maka Tuntung Kapuo pun merias adiknya. Merias agar adiknya terlihat buruk. Rambut Puti Bungsu disisirnya dengan cara mengacak-acaknya, sehingga terkesan seperti hantu yang baru keluar dari persembunyian, atau seperti Nenek Lampir yang jahat. Muka Puti Bungsu dilumurinya dengan arang, sehingga yang tampak hanya bola matanya yang sekali-sekali bergerak. Tidak puas berbuat begitu saja, Tuntung Kapuo berkata, ”Selama kita di sana, engkau tak boleh ketawa. Tersenyum pun tidak boleh. Ngerti?”
    Puti Bungsu mengangguk patuh, meski dalam hati dia tidak tahu apa maksud kakaknya berbuat begitu.
    Hanya setengah hari berlayar dan kemudian dilanjutkan berjalan kaki, sampailah mereka di Rimbo Tiang Monyan. Di situ sudah ramai para gadis berkumpul. Mereka duduk di atas tikar yang dibentangkan di atas tanah di antara pepohonan hutan. Ada juga yang duduk pada batang pohon tumbang. Ada yang berdiri sambil bercakap-cakap. Bermacam gaya dan rias wajahnya. Semua berusaha menarik perhatian Tuan Muda. Meskipun belum seorang pun yang tahu bagaimana wajah Tuan Muda itu. Rasa penasaranlah yang membuat sebagian besar para gadis itu mau datang ke acara ini.
    Kira-kira lima puluh di depan kumpulan para gadis itu, terbentang layar yang lebar. Seperti kain hitam yang direntangkan dari pohon ke pohon. Entah untuk apa. Dan entah apa yang ada di balik layar itu. Anehnya lagi, yang ada di sana hanya para gadis itu. Memang ada beberapa pemuda berdiri di kedua ujung layar hitam itu. Apakah mereka penjaga layar itu? Untuk apa pula?
    Ketika matahari tepat di ubun-ubun, seorang pemuda muncul dari balik layar. Pemuda yang dulu bicara pada Tuntung Kapuo. Tanpa banyak komentar, pemuda itu berkata,”Terima kasih atas kedatangan Puan-Puan yang cantik-cantik. Kami perkenalkan, inilah Tuan Muda kami!”
    Begitu pemuda tadi mundur, layar hitam lebar tadi terkuak perlahan. Setelah terbuka sekitar satu depa, kuakan layar itu terhenti.  Lalu meuncul seseorang. Ya, di sana kini berdiri seorang pemuda berwajah buruk, sangat buruk. Dan ketika berjalan, tampak dia terpincang-pincang, nyaris seperti merangkak. Pada saat itu terdengar gerutuan panjang di antara para gadis. Macam suara lebah. Bukan itu saja, seorang demi seorang para gadis itu meninggalkan tempat itu. Bahkan hadiah yang dijanjikan akan diberikan kepada setiap gadis yang datang, tak diterima mereka. Mereka sangat kecewa, pulang dengan meninggalkan sumpah-seranah. Akan tetapi masih banyak juga di antara gadis itu  yang ingin mengetahui siapa yang mau menikah dengan pemuda buruk rupa itu. Makanya para gadis itu masih bersembunyi di balik pepohonan, mengintai semua kejadian di arena yang baru saja mereka tinggalkan itu.
    Yang tetap bertahan di sana hanya tujuh orang, termasuk Tuntung Kapuo dan Puti Bungsu. Seperti sudah menduga apa yang akan terjadi, pemuda tadi kembali berdiri dan berbicara,”Apakah adik-adik yang bertujuh orang ini bersedia
menjadi calon isteri Tuan Muda kami?”
    “Uuh, siapa yang mau dengan orang pincang dan buruk?” ejek salah seorang gadis sambil mendengus. “Kami ke sini hanya hendak mengambil hadiah
yang kalian janjikan,” lanjutnya.
    “O, baiklah. Siapa yang datang kemari hanya untuk mengambil hadiah yang kami janjikan, silahkan ambil!” sahut pemuda tadi dengan tetap ramah. Dan sejurus kemudian, dari balik layar hitam itu muncul seorang gadis berkulit putih bersih. Membawa tujuh buah bungkusan. Lalu menyerahkan kepada Tuan Muda yang buruk rupa itu.
    “Silahkan ambil hadiah dari Tuan Muda kami!” ucap pemuda tadi ramah.
    Seketika itu juga empat orang gadis maju. Dengan sangat kasar menyentak bungkusan itu dari pemuda buruk rupa. Lalu tanpa mengucapkan terima kasih keempatnya meninggalkan tempat itu.
    “Berarti apakah yang tiga orang ini bersedia menjadi isteri Tuan Muda kami?” tanya pemuda tadi. “Kalau bersedia, adik-adik harus bersedia diuji,” lanjutnya.
    “Diuji? Hanya untuk mendapatkan pemuda buruk rupa begini kami harus diuji? Di kampung kami melampuh pemuda seperti ini. Besok bisa saya bawakan sekapal ke sini,” cerca Tuntung Kapuo tak dapat menahan marahnya lagi. Sebab sejak tadi dia sudah ingin menumpahkan kejengkelannya pada pemuda buruk rupa itu. Dia lupa, tujuannya ke sini ingin dipilih menjadi isteri Tuan Muda. Atau
mendapatkan harta kekayaan Tuan Muda.
    Gadis yang seorang lagi tak kalah sengitnya mencerca pemuda buruk rupa itu. Sampai-sampai disebutnya wajah pemuda itu mirip dengan siamang peliharan ayahnya.
    “Kalau Puan-Puan tidak berkenan dengan Tuan Muda kami, silahkan ambil hadiahnya. Tidak perlu menghina begitu rupa,” lagi-lagi pemuda tadi bicara dengan sangat sopan. “Sekarang tinggal satu gadis. Bagaimana? Apakah Puan bertahan di sini karena hendak melontarkan cercaan yang lebih pedas dan menyakitkan seperti kedua Puan tadi. Silahkan. Kalau itu yang hendak dilakukan, kami terima. Berarti Tuan Muda kami belum berjodoh.”
    Puti Bungsu hendak bicara, tetapi segera diseret Tuntjng Kapuo. “Cepat, kita pulang saja. Sudah susah-susah ke sini, yang dilihat cuma beruk tua,” gerutu-nya.
    “Tunggu!” suara pemuda tadi terdengar agak keras. “Semua gadis mendapat kesempatan yang sama untuk berbicara. Biarkan Puan itu bicara,” tegasnya.
    “Ini adikku, suka aku mau kubawa kemana!”
    “Betul itu adik Puan. Tapi dia datang ke sini juga dengan maksud yang sama dengan Puan. Dia berhak bicara.”
    “Tapi dia tidak mau bicara apa-apa.”
    “Saya justeru melihat dia mau bicara tadi,” tegas pemuda itu.
    “Aku tak melihatnya!” dengus Tuntung Kapuo.
    “Apa susahnya membiarkan adik Puan bicara,” tiba-tiba pemuda buruk rupa itu bersuara. Membuat tuntung Kapuo tertegun. Suara itu terdengar berwiba-wa, lembut dan sopan. “Saya ingin mendengarkan adik Puan juga mencerca saya,” lanjutnya.
    Melihat Tuntung Kapuo terdiam, Puti Bungsu langsung berkata,”Maafkan saya, Tuan. Apa pantas seorang gadis buruk rupa seperti hamba menjadi calon isteri Tuan?”
    Mendengar ucapan Puti Bungsu, Tuntung Kapuo terbahak. Para gadis yang masih bersembunyi di balik pepohonan juga tak dapat menahan tawanya. Mereka tidak hanya ketawa, tetapi keluar dari persembunyian.
    “Hebat, perkawinan yang hebat. Pengantin buruk rupa tak lama lagi akan bersanding,” teriak salah seorang gadis.
    “Sungguhkah Puan mau menjadi isteri hamba?” tanya Tuan Muda.
    “Untuk apa hamba datang jauh-jauh kalau bukan hendak memenuhi tujuan Tuan?” jawab Puti Bungsu tersipu diiringi suara sorak-sorai yang penuh ejekan.
    “Ke marilah, Puan!” ucap pemuda buruk rupa itu sambil menyilahkan Puti Bungsu agar berdiri di sampingnya.
    Puti Bungsu melangkah dengan malu-malu. Tuntung Kapuo tercengang, tak bisa menahan langkah adiknya. Begitu Puti Bungsu tegak di sampingnya, pemuda buruk rupa itu pun membuka pakaiannya. Mula-mula baju, kemudian
celana. Dan terakhir membuka topeng yang menutup wajahnya.
    Seketika itu juga para gadis terkesima dengan mata membelalak. Pemuda buruk rupa tadi ternyata seorang Tuan Muda yang tampan dan gagah perkasa. Dengan isyarat tangan dia menyuruh seorang pelayan membersihkan wajah Puti Bungsu, menyisir rambutnya. Lalu dia berkata,”Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti acara pemilihan isteri hamba. Semoga budi baik kalian mendapat imbalan yang layak dari Tuhan.”
    Layar terbuka lebar, hidangan tersaji dengan aneka cita-rasa, lengkap dengan kursi dan meja makannya. Di latar belakang sana, tampak Raja dan Permaisuri melangkah perlahan ke arah tempat Puti Bungsu dan pemuda tampan itu berdiri. Lalu dengan senyum khasnya, Raja berkata,“Silahkan para undangan mencicipi hidangan yang disajikan sebagai pesta awal pernikahan anak kami.”
    “Jadi, Tuan Muda itu anak raja?” Tuntung Kapuo dan beberapa gadis tercengang. ***

DIKEJAR PEPAYA

Dulu, kampung Telukriti hampir tidak pernah dihuni oleh penduduknya. Orang-orang lebih banyak tinggal di ladangnya. Jika musim berladang sudah habis, disambung dengan musim berkebun. Kebun kacang, kebun pisang, kebun lada panjang, kebun tebu dan lain-lainnya.
Salah seorang yang memiliki kebun itu namanya Datuk Ageh, biasa dipanggil Tuk Ageh. Dia punya kebun pepaya yang cukup luas. Dan dia memang terkenal sebagai petani yang rajin. Bukan itu saja, dia juga sangat sayang dan suka kepada anak-anak. Setiap malam ada saja anak yang diajak bermalam di terataknya. Teratak maksudnya pondok di tengah kebun atau ladang.
Anehnya, meski dia sayang kepada anak-anak, tetap saja anak-anak suka
mengusiknya. Kadang-kadang buah pepayanya dicuri oleh anak-anak. Lain waktu
terompah kayunya disembunyikan. Pernah pula tiang terataknya digoyang anak-anak ketika dia sedang tidur. Sehingga terataknya bergoyang-goyang. Dan dia terbangun seraya berteriak-teriak. Dikiranya ada gempa mengguncang terataknya.
Akan tetapi begitu dia tahu itu ulah anak-anak, dia hanya bilang,”Oo, anak-anak. Tak baik begitu, mengejutkan Datuk.” Mungkin karena dia tak pernah marah itulah anak-anak suka  mengusiknya.
Yang paling suka mengusiknya adalah Gewa Maniaka. Pernah Tuk Ageh terbirit-birit lari karena mendengar auman harimau persis di seberang sungai tempatnya hendak beruduk. Melihat orang tua yang sudah beruban itu berlari ngos-ngosan, Gewa Maniaka tertawa terpingkal-pingkal. Saat itulah Tuk Ageh menghentikan langkah. Dia mendengar suara tawa anak-anak. Maka dia kembali ke sungai.
“Kamu itu Gewa?” tanyanya sambil mencari-cari sosok anak di seberang.
Tak ada sahutan. Gewa hanya diam berlindung di balik semak dan dedaunan hutan.
“Keluarlah, nanti kamu yang diintai harimau,” lanjut Tuk Ageh seraya mulai beruduk.
Mendengar itu, Gewa jadi takut. Lalu dengan malu-malu keluar dari hutan dan meminta maaf pada Tuk Ageh.
Apa kata Tuk Ageh? Dia hanya berkata,”Makanya, ndak baik menakuti
orangtua.” Sungguh, dia sama sekali tak marah. Padahal dia hampir jatuh ketika berlari.
Walaupun Tuk Ageh bisa sabar dan sayang pada anak-anak, tidak demikian dengan Pak Cik Komar, anak Tuk Ageh. Dia sudah lama tahu abahnya selalu diusik oleh anak-anak. Setiap dia tahu abahnya diganggu anak-anak, dia akan memanggil anak itu. Memarahinya habis-habisan.
Sebenarnya bukan hanya Pak Cik Komar yang marah. Abah Gewa Maniaka juga sangat marah kalau tahu Gewa Maniaka mengusik Tuk Ageh. Begitu juga abah dan omak anak-anak yang lain. Ya, mana ada orangtua yang suka anaknya nakal.
Begitulah. Meski dimarahi, tetap saja anak-anak suka mengusik Tuk Ageh. Seperti malam ini. Kelompok Gewa Maniaka sudah sepakat hendak mengambil pepaya yang disimpan di teratak Tuk Ageh. Malam itu giliran Amin yang tidur di teratak Tuk Ageh. Amin harus memberi kode kalau ada bahaya. Begitu juga kawan-kawan yang menunggu di tepi kebun. Pokoknya semuanya sudah diatur.
Kini Gewa mengendap-endap dari pohon pepaya yang satu ke pohon pepaya yang lain. Kemudian terus merunduk-runduk ke belakang teratak. Ditolehnya ke kiri dan ke kanan beberapa kali. Benar-benar seperti maling betulan. Setelah yakin tidak ada orang yang memilihatnya dia pun masuk melalui pintu belakang teratak.
Dalam teratak yang berdinding pelupuh itu, suasana remang-remang.Sebab

hanya diterangi cahaya lampu petromak. Apalagi kaca lampu itu sudah kabur, berjelaga karena tak pernah dibersihkan. Menambah suramnya suasana. Sulit bagi Gewa Maniaka melihat benda-benda dalam teratak itu dengan jelas.
Akan tetapi karena dia sudah biasa tidur di teratak itu, dia tahu persis tempat Tuk Ageh menyimpan pepaya yang akan dijual. Dia tahu di pojok sebelah kiri rumah, tempat kelambu. Di dalam kelambu itu dia tidur bersama Tuk Ageh. Di pojok kanan bagian belakang ada balai-balai, di situlah tempat pepaya. Makanya Gewa Maniaka beringsut-ingsut menuju pojok kanan bagian belakang teratak.
Sampai di pojok, tangan Gema Maniaka mulai maraba-raba.
Kosong. Tak ada apa-apa di situ. Di mana pepaya itu disimpan Tuk Ageh?
Gewa Maniaka mulai gelisah. Dia jadi tak sabar. Dia meraba-raba ke sana ke mari. Dan tiba-tiba tangannya memegang sebuah pepaya. Dipegangnya kuat-kuat, tapi…bukan pepaya, melainkan kaki….
Saat itu juga cahaya senter menyergap mukanya.
Seperti menampak hantu, Gewa Maniaka berbalik dan melompat keluar teratak, lalu lari sekencang-kencangnya sambil berteriak-teriak,”Ampun, Pak Cik. Ampun, Pak Cik! Ampun!”
Saking ketakutannya, Gewa Maniaka tak tahu lagi ke arah mana dia lari. Dia lari membabi-buta dalam remang-remang malam. Beberapa kali tubuhnya menghantam pohon pepaya. Pekik lolongnya tambah kuat ketika dia mendengar bebatuan dilemparkan ke arahnya.
“Ampun, Pak Cik. Jangan lempar aku, jangan! Ampun!” teriaknya sambil terus berlari. “Cepat, Pak Cik Komar mengamuk!” teriaknya lagi kepada teman-temannya.
Melihat Gewa Maniaka berlari macam babi mengamuk, kawan-kawan Gewa pun bingkas dan lari lintang-pukang melintasi pepohonan pepaya. Dan seperti Gewa Maniaka, mereka juga merasakan ada orang yang melempar dari belakang.
Tak terkata lagi, pekik-lolong mereka berhamburan. Dan tiba-tiba terdengar teriakan,”Aaau!” Teriakan itu begitu keras, bersipongang ke dalam
hutan.
“Toloooong!”
Itu suara Gewa Maniaka. Kawan-kawannya yang sudah jauh berada di depannya berhenti.
“Toloooong, tolong aku! Aku terperosok!” pekik Gewa Maniaka lagi. “Ampun kami, Pak Cik. Kami tobat, Pak Cik!” racaunya meratap.
Mendengar Gewa Maniaka menyebut-nyebut Pak Cik. Kawan-kawannya yakin Pak Cik Komar sudah berada dekat Gewa Maniaka. Karena itulah mereka tak jadi hendak menolong. Mereka berbalik, dan pugas. Lari sekencang-kencangnya ke arah kampung.
Apa yang diduga kawan-kawan Gewa Maniaka benar. Beberapa saat kemudian Pak Cik Komar sudah muncul di hadapan Gewa Maniaka. Di sisinya berdiri Amin, kawannya.
Pak Cik Komar mengarahkan cahaya senter ke wajah Gewa Maniaka. Tetapi tidak lama. Melihat Gewa menutup wajahnya karena silau dan malu, dia mengalihkan arah cahaya senter ke tubuh Gewa Maniaka.
Ternyata kaki Gewa Maniaka terperosok sampai ke pangkal paha ke dalam lubang bekas pohon karet. Entah mengapa, Pak Cik Komar tidak marah. Tak ada bentakan. Bahkan tak terlihat tatapan matanya yang tajam. Dia malah membantu Gewa Maniaka agar bisa keluar dari lubang.
“Sakit?” tanyanya lembut setelah Gewa Maniaka dikeluarkan dari lubang. Ada rasa iba dari nada suaranya. Ini sesuatu yang aneh. Biasanya Pak Cik Komar tak bisa menahan marahnya melihat ulah Gewa Maniaka dan kawan-kawannya.
Ada apa di balik semua ini?
Ditanya dengan nada lembut itu, Gewa Maniaka hanya sanggup menggeleng. Dia tak berani menatap wajah Pak Cik Komar. Bahkan ketika Pak Cik Komar mengajaknya kembali ke teratak, dia hanya menurut saja.
Besoknya barulah Amin bercerita, bahwa yang dipegang Gewa Maniaka itu betis Pak Cik Komar. Amin juga mengatakan Pak Cik Komar tidak marah pada Gewa Maniaka karena sudah janji padanya.
“Jadi semua ini sudah kamu rencanakan dengan Pak Cik Komar?”
Amin mengangguk. “Kalian mau marah, terserah,” ucap Amin pelan. “Aku salah, tapi maksudku baik,” lanjutnya.
Teman-temannya saling pandang.
“Kalau tidak marah kenapa dia melempar kami?” tanya Gewa Maniaka heran.
“Melempar?” tanya Amin seraya menatap Gewa Maniaka dengan heran. Dan sebelum sempat Gewa Maniaka bicara, Amin berkata,” Oo, itu. Bukan Pak Cik Komar yang melempar.”
“Jadi siapa yang melempar….”
“Pepaya!” potong Amin cepat.
“Haaa!” teman-temannya tambah kaget. Tak percaya.
“Buah-buah pepaya yang busuk dan yang masak berjatuhan ketika kalian menyenggol pohonnya,” jelas Amin terbahak.
Teman-temannya terdiam, agak malu. Akan tetapi sejurus kemudian,
“Memalukan. Kelompok Gewa Maniaka lari pontang-panting dikejar pepaya,” ucap Harja terbahak diikuti oleh teman-temannya.***