Sabtu, 20 November 2010

DIKEJAR PEPAYA

Dulu, kampung Telukriti hampir tidak pernah dihuni oleh penduduknya. Orang-orang lebih banyak tinggal di ladangnya. Jika musim berladang sudah habis, disambung dengan musim berkebun. Kebun kacang, kebun pisang, kebun lada panjang, kebun tebu dan lain-lainnya.
Salah seorang yang memiliki kebun itu namanya Datuk Ageh, biasa dipanggil Tuk Ageh. Dia punya kebun pepaya yang cukup luas. Dan dia memang terkenal sebagai petani yang rajin. Bukan itu saja, dia juga sangat sayang dan suka kepada anak-anak. Setiap malam ada saja anak yang diajak bermalam di terataknya. Teratak maksudnya pondok di tengah kebun atau ladang.
Anehnya, meski dia sayang kepada anak-anak, tetap saja anak-anak suka
mengusiknya. Kadang-kadang buah pepayanya dicuri oleh anak-anak. Lain waktu
terompah kayunya disembunyikan. Pernah pula tiang terataknya digoyang anak-anak ketika dia sedang tidur. Sehingga terataknya bergoyang-goyang. Dan dia terbangun seraya berteriak-teriak. Dikiranya ada gempa mengguncang terataknya.
Akan tetapi begitu dia tahu itu ulah anak-anak, dia hanya bilang,”Oo, anak-anak. Tak baik begitu, mengejutkan Datuk.” Mungkin karena dia tak pernah marah itulah anak-anak suka  mengusiknya.
Yang paling suka mengusiknya adalah Gewa Maniaka. Pernah Tuk Ageh terbirit-birit lari karena mendengar auman harimau persis di seberang sungai tempatnya hendak beruduk. Melihat orang tua yang sudah beruban itu berlari ngos-ngosan, Gewa Maniaka tertawa terpingkal-pingkal. Saat itulah Tuk Ageh menghentikan langkah. Dia mendengar suara tawa anak-anak. Maka dia kembali ke sungai.
“Kamu itu Gewa?” tanyanya sambil mencari-cari sosok anak di seberang.
Tak ada sahutan. Gewa hanya diam berlindung di balik semak dan dedaunan hutan.
“Keluarlah, nanti kamu yang diintai harimau,” lanjut Tuk Ageh seraya mulai beruduk.
Mendengar itu, Gewa jadi takut. Lalu dengan malu-malu keluar dari hutan dan meminta maaf pada Tuk Ageh.
Apa kata Tuk Ageh? Dia hanya berkata,”Makanya, ndak baik menakuti
orangtua.” Sungguh, dia sama sekali tak marah. Padahal dia hampir jatuh ketika berlari.
Walaupun Tuk Ageh bisa sabar dan sayang pada anak-anak, tidak demikian dengan Pak Cik Komar, anak Tuk Ageh. Dia sudah lama tahu abahnya selalu diusik oleh anak-anak. Setiap dia tahu abahnya diganggu anak-anak, dia akan memanggil anak itu. Memarahinya habis-habisan.
Sebenarnya bukan hanya Pak Cik Komar yang marah. Abah Gewa Maniaka juga sangat marah kalau tahu Gewa Maniaka mengusik Tuk Ageh. Begitu juga abah dan omak anak-anak yang lain. Ya, mana ada orangtua yang suka anaknya nakal.
Begitulah. Meski dimarahi, tetap saja anak-anak suka mengusik Tuk Ageh. Seperti malam ini. Kelompok Gewa Maniaka sudah sepakat hendak mengambil pepaya yang disimpan di teratak Tuk Ageh. Malam itu giliran Amin yang tidur di teratak Tuk Ageh. Amin harus memberi kode kalau ada bahaya. Begitu juga kawan-kawan yang menunggu di tepi kebun. Pokoknya semuanya sudah diatur.
Kini Gewa mengendap-endap dari pohon pepaya yang satu ke pohon pepaya yang lain. Kemudian terus merunduk-runduk ke belakang teratak. Ditolehnya ke kiri dan ke kanan beberapa kali. Benar-benar seperti maling betulan. Setelah yakin tidak ada orang yang memilihatnya dia pun masuk melalui pintu belakang teratak.
Dalam teratak yang berdinding pelupuh itu, suasana remang-remang.Sebab

hanya diterangi cahaya lampu petromak. Apalagi kaca lampu itu sudah kabur, berjelaga karena tak pernah dibersihkan. Menambah suramnya suasana. Sulit bagi Gewa Maniaka melihat benda-benda dalam teratak itu dengan jelas.
Akan tetapi karena dia sudah biasa tidur di teratak itu, dia tahu persis tempat Tuk Ageh menyimpan pepaya yang akan dijual. Dia tahu di pojok sebelah kiri rumah, tempat kelambu. Di dalam kelambu itu dia tidur bersama Tuk Ageh. Di pojok kanan bagian belakang ada balai-balai, di situlah tempat pepaya. Makanya Gewa Maniaka beringsut-ingsut menuju pojok kanan bagian belakang teratak.
Sampai di pojok, tangan Gema Maniaka mulai maraba-raba.
Kosong. Tak ada apa-apa di situ. Di mana pepaya itu disimpan Tuk Ageh?
Gewa Maniaka mulai gelisah. Dia jadi tak sabar. Dia meraba-raba ke sana ke mari. Dan tiba-tiba tangannya memegang sebuah pepaya. Dipegangnya kuat-kuat, tapi…bukan pepaya, melainkan kaki….
Saat itu juga cahaya senter menyergap mukanya.
Seperti menampak hantu, Gewa Maniaka berbalik dan melompat keluar teratak, lalu lari sekencang-kencangnya sambil berteriak-teriak,”Ampun, Pak Cik. Ampun, Pak Cik! Ampun!”
Saking ketakutannya, Gewa Maniaka tak tahu lagi ke arah mana dia lari. Dia lari membabi-buta dalam remang-remang malam. Beberapa kali tubuhnya menghantam pohon pepaya. Pekik lolongnya tambah kuat ketika dia mendengar bebatuan dilemparkan ke arahnya.
“Ampun, Pak Cik. Jangan lempar aku, jangan! Ampun!” teriaknya sambil terus berlari. “Cepat, Pak Cik Komar mengamuk!” teriaknya lagi kepada teman-temannya.
Melihat Gewa Maniaka berlari macam babi mengamuk, kawan-kawan Gewa pun bingkas dan lari lintang-pukang melintasi pepohonan pepaya. Dan seperti Gewa Maniaka, mereka juga merasakan ada orang yang melempar dari belakang.
Tak terkata lagi, pekik-lolong mereka berhamburan. Dan tiba-tiba terdengar teriakan,”Aaau!” Teriakan itu begitu keras, bersipongang ke dalam
hutan.
“Toloooong!”
Itu suara Gewa Maniaka. Kawan-kawannya yang sudah jauh berada di depannya berhenti.
“Toloooong, tolong aku! Aku terperosok!” pekik Gewa Maniaka lagi. “Ampun kami, Pak Cik. Kami tobat, Pak Cik!” racaunya meratap.
Mendengar Gewa Maniaka menyebut-nyebut Pak Cik. Kawan-kawannya yakin Pak Cik Komar sudah berada dekat Gewa Maniaka. Karena itulah mereka tak jadi hendak menolong. Mereka berbalik, dan pugas. Lari sekencang-kencangnya ke arah kampung.
Apa yang diduga kawan-kawan Gewa Maniaka benar. Beberapa saat kemudian Pak Cik Komar sudah muncul di hadapan Gewa Maniaka. Di sisinya berdiri Amin, kawannya.
Pak Cik Komar mengarahkan cahaya senter ke wajah Gewa Maniaka. Tetapi tidak lama. Melihat Gewa menutup wajahnya karena silau dan malu, dia mengalihkan arah cahaya senter ke tubuh Gewa Maniaka.
Ternyata kaki Gewa Maniaka terperosok sampai ke pangkal paha ke dalam lubang bekas pohon karet. Entah mengapa, Pak Cik Komar tidak marah. Tak ada bentakan. Bahkan tak terlihat tatapan matanya yang tajam. Dia malah membantu Gewa Maniaka agar bisa keluar dari lubang.
“Sakit?” tanyanya lembut setelah Gewa Maniaka dikeluarkan dari lubang. Ada rasa iba dari nada suaranya. Ini sesuatu yang aneh. Biasanya Pak Cik Komar tak bisa menahan marahnya melihat ulah Gewa Maniaka dan kawan-kawannya.
Ada apa di balik semua ini?
Ditanya dengan nada lembut itu, Gewa Maniaka hanya sanggup menggeleng. Dia tak berani menatap wajah Pak Cik Komar. Bahkan ketika Pak Cik Komar mengajaknya kembali ke teratak, dia hanya menurut saja.
Besoknya barulah Amin bercerita, bahwa yang dipegang Gewa Maniaka itu betis Pak Cik Komar. Amin juga mengatakan Pak Cik Komar tidak marah pada Gewa Maniaka karena sudah janji padanya.
“Jadi semua ini sudah kamu rencanakan dengan Pak Cik Komar?”
Amin mengangguk. “Kalian mau marah, terserah,” ucap Amin pelan. “Aku salah, tapi maksudku baik,” lanjutnya.
Teman-temannya saling pandang.
“Kalau tidak marah kenapa dia melempar kami?” tanya Gewa Maniaka heran.
“Melempar?” tanya Amin seraya menatap Gewa Maniaka dengan heran. Dan sebelum sempat Gewa Maniaka bicara, Amin berkata,” Oo, itu. Bukan Pak Cik Komar yang melempar.”
“Jadi siapa yang melempar….”
“Pepaya!” potong Amin cepat.
“Haaa!” teman-temannya tambah kaget. Tak percaya.
“Buah-buah pepaya yang busuk dan yang masak berjatuhan ketika kalian menyenggol pohonnya,” jelas Amin terbahak.
Teman-temannya terdiam, agak malu. Akan tetapi sejurus kemudian,
“Memalukan. Kelompok Gewa Maniaka lari pontang-panting dikejar pepaya,” ucap Harja terbahak diikuti oleh teman-temannya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar