Sabtu, 20 November 2010

Tuntung Kapuo

Di zaman ninik makan kuluang dulu, di sebuah kerajaan Ontah Dimano, hiduplah Ongah Gakin bersama dua orang putrinya di tepi Batang Lubuh. Putri tertua namanya Tuntung Kapuo. Sedang adiknya dinamakan Puti Bungsu.
Hampir setiap hari kedua beradik itu bermain di tepi Batang Lubuh. Seperti penduduk lainnya, mereka mandi dan mencuci di sungai itu. Selain karena air sungai sangat jernih, di masa itu belum ada orang membuat sumur di rumahnya. Segala keperluan tentang air diambil dari sungai. Bahkan buang hajat
pun di sungai.
Batang Lubuh memang bukan sebuah sungai yang besar. Akan tetapi cukup dalam untuk dilayari oleh kapal. Sehingga banyak juga kapal-kapal ukuran sedang berlalu-lalang melayarinya. Ada yang digerakkan dengan menggunakan
tenaga manusia, didayung bersama-sama. Ada pula yang menggunakan layar.
Kesibukan hilir-mudiknya kapal-kapal dan perahu di sungai itu sudah menjadi pemandangan biasa setiap hari. Para penduduk tidak risih mandi di sungai itu, meski hanya memakai cawat dan perempuan hanya memakai kemban. Terkadang ada juga anak buah kapal yang usil bersuit-suit melihat para gadis mencuci dan mandi hanya dengan memakai kain yang melilit tubuhnya.
Tak sedikit pula para gadis itu senang digoda begitu. Makanya sering juga terdengar para gadis itu mandi sambil bersenandung. Begitu juga Tuntung Kapuo. Hampir setiap turun mencuci atau mandi di sungai dia selalu bersenandung.
Nyanyiannya kadang terdengar menggoda adiknya Puti Bungsu, kadang benar-benar seperti mengejek. Dan memang selama ini keduanya selalu hidup rukun. Itu yang membuat Ongah Gakin bangga kepada kedua putrinya. Walaupun Tuntung Kapuo kadang-kadang suka usil kepada adiknya. Dia suka menyuruh adiknya mengerjakan itu dan ini. Hal itu masih dianggap wajar oleh Puti Bungsu dan abahnya, Ongah Gakin.
Suatu petang, kedua kakak-beradik itu turun ke sungai. Mandi sepulang dari ladang, membersihkan badan dari arang kayu dan debu tanah. Tadi mereka terlalu asyik bekerja di ladang, sehingga agak terlambat pulang. Ketika mandi, hanya mereka berdua di tepi sungai.
Seperti biasa, sambil mandi Tuntung Kapuo bersenandung. Menghibur-hibur badan yang penat, meriang-riangkan hati.
Sedang asyiknya mereka mandi sebuah kapal lewat. Kapal asing, yang sebelumnya pernah lewat di sana. Puti Bungsu sempat terpana memandangnya. Bagaimana tidak. Selain belum pernah dilihatnya, kapal itu tampak megah dan mewah, seperti bermandi cahaya oleh lelampunya.
Tuntung Kapuo tidak menyadari adanya kapal mewah dan megah sedang lewat. Dia terus bersenandung :
Tuntung Kapuo bulancang omeh (Tuntung Kapuo berkapal emas)
tak kitimpung tak kitimpung. (tak kitimpung tak kitimpung)
Puti Bungsu bulancang upih (Puti Bungsu bulancang upih)
tak kitimpung tak kitimpung. (tak kitimpung tak kitimpung)
    Setiap usai satu baris dia bernyanyi, Tuntung Kapuo bukutimbung, yaitu menepuk permukaan air dengan kedua tangannya secara serentak. Sehingga menimbulkan suara gema “bung, kecipak bung”. Semakin pandai seseorang bukutimbung, semakin besar suara gema air itu terdengar. Berdentum-dentum terdengar dari jauh. Tentu saja suara kutimbung dan nyanyian Tuntung Kapuo sampai ke kapal mewah dan megah yang sedang lewat itu.
    “Ada kapal lewat, Kak,” Puti Bungsu memberitahu pada kakaknya.
    “Biarlah, apa pula awak rintang?” sahut Tuntung Kapuo makin asyik bukutimbung dan bernyanyi. Maksudnya mengapa pula kita peduli. Bukankah selama ini sudah biasa kapal lewat di sungai itu? Begitu persangkaan Tuntung Kapuo, sehingga dia tak mengacuhkan ucapan adiknya.
Mendengar jawaban kakaknya, Puti Bungsu diam. Dia mempercepat mandinya. Lalu naik ke tebing sungai. Dari atas tebing dia masih terpesona melihat kemegahan kapal yang lewat itu.
Lewat?
Ah, bukan! Kapal itu kini tampaknya tidak sekedar lewat, tapi malah menuju ke arah mereka. Ya, tak salah lagi. Kapal itu benar-benar sedang menuju ke tempat Puti Bungsu dan Tuntung Kapuo mandi.
Apakah ini mimpi?
Sudah sering kapal lewat di sungai ini, tetapi belum pernah sebuah kapal pun yang singgah di pangkalan penduduk kampung. Termasuk pangkalan tempat Puti Bungsu dan Tuntung Kapuo mandi. Pangkalan maksudnya tempat mandi di sungai. Karena tidak percaya itulah Puti Bungsu berkali-kali memuyu-muyu matanya.
“Kapal itu ke sini, Kak!” teriak Puti Bungsu dari atas tebing setelah yakin pada penglihatannya. Namun Tuntung Kapuo tak mendengar. Dia terus asyik dalam senandung dan bukutim-bung. Semakin lama suara kutimbungnya terdengar semakin berdentum-dentum di senja yang hening.
Sementara kapal itu tampak semakin dekat, semakin jelas pula sosoknya, semakin jelas gemerlap lelampunya. Kapal itu benar-benar kelihatan seperti bermandi cahaya di rembang petang bersafak merah.
Puti Bungsu terperangah, terpesona. Berbagai pikiran buruk berkecamuk
di kepalanya. Apakah kapal itu tersesat? Ataukah kapal itu kapal bajak laut yang hendak menangkap mereka? Tapi mengapa tidak ada tanda-tanda kapal bajak laut? Tidak ada bendera berlambang tengkorak, seperti lazimnya kapal bajak laut.
Tuntung Kapuo bulancang omeh (Tuntung Kapuo berkapal emas)
tak kitimpung tak kitimpung. (tak kitimpung tak kitimpung)
Puti Bungsu bulancang upih (Puti Bungsu bulancang upih)
tak kitimpung tak kitimpung. (tak kitimpung tak kitimpung)
Nyanyian Tuntung Kapuo terus bergema. Suara kutimbungnya berdentum-dentum. Nyanyian dan kutimbung itu baru mendadak berhenti ketika Tuntung Kapuo menyadari di sekitarnya penuh cahaya. Cahaya lampu kapal yang sudah sangat dekat. Saking kagetnya Tuntung Kapuo nyaris terlompat ke tepi sungai.
Ketika itulah sifat aslinya pun keluar. Dia marah-marah kepada Puti Bungsu karena tidak memberitahukan kehadiran kapal itu. Kalau sudah begitu, Puti Bungsu diam saja. Percuma dia memberi penjelasan, Tuntung Kapuo tak  akan mau mendengarkan. Dia tetap juga akan dipersalahkan.
“Apa pula susahnya memberitahu kapal datang,” gerutu Tuntung Kapuo sambil menaiki tebing sungai. “Adik celaka, hendak mempermalukan kakak sendiri agaknya,” lanjutnya seraya menatap geram pada Puti Bungsu.
Puti Bungsu tak menjawab. Dia langsung berbalik hendak pulang, meskipun hatinya masih terpikat dan ingin melihat kapal itu berlama-lama.
“Hei, tunggu!” teriak sebuah suara dari dalam kapal. Kapal sudah merapat
ke pangkalan.
    Tuntung Kapuo dan Puti Bungsu menoleh. Dari dalam kapal tampak beberapa orang lelaki tegak di haluan. Tentulah salah seorang dari mereka yang memanggil tadi.
    “Maaf, adik-adik. Kami mengganggu kalian mandi. Kami sekedar singgah sebentar. Tuan Muda kami sedang mencari calon isteri. Seluruh gadis di kerajaan Ontah Dimano diharapkan berkumpul pada purnama bulan depan di Rimbo Tiang Monyan,” jelas salah seorang pemuda yang berdiri di haluan kapal.
    “Memangnya siapa Tuan Muda kalian? Sombong betul cari calon isteri. Mengapa pula kami yang harus datang?” Tuntung Kapuo menyahut sambil mencibir.
    “Maaf, kami tidak bisa memberitahunya sekarang. Tetapi kami sangat berharap adik-adik datang. Setiap gadis yang datang akan diberi hadiah.”
    “Hadiah apa?” Tuntung Kapuo tampak berminat.
    “Sekali lagi maaf. Kami tidak bisa memberitahunya sekarang.”
    “Uuuh, semuanya pakai rahasia. Jangan-jangan Tuan Muda kamu itu buruk rupa, ya?”
    “Adik-adik boleh lihat nanti. Permisi!” Lalu kapal pun berlayar kembali, meninggalkan pangkalan itu.
Tuntung Kapuo masih memberengut meski kapal itu sudah jauh mening-galkan pangkalan. Tanpa bicara dia bergegas melangkah pulang diikuti oleh Puti
Bungsu yang juga tak bersuara.
    Di rumah, Tuntung Kapuo bercerita panjang lebar pada abahnya, Pak Gakin tentang pertemuan mereka dengan kapal mewah tadi. Juga tentang Tuan Muda yang mencari calon isteri.
    “Sebaiknya kalian ikut, Nak. Mencoba mengadu nasib tidak ada salahnya. Diharap orang datang meminang, rasanya sulit. Pemuda mana yang mau pada orang miskin seperti kita,” ucap Pak Gakin setelah Tuntung Kapuo bercerita.
    “Tapi bagaimana kalau Tuan Muda itu juga miskin, Bah?” tanya Tuntung Kapuo.
    “Mana mungkin orang miskin punya kapal mewah.”
    Tuntung Kapuo tercengang menyadari ketololannya.”Iya, ya, kenapa aku begitu dungu?” teriaknya girang. “Tapi kalau Tuan Muda itu cacat? Pincang atau buta misalnya?” lanjut Tuntung Kapuo.
“Mana mau punya suami cacat atau tidak sama sekali?” tanya Pak Gakin.
Tuntung Kapuo terdiam. Tapi untuk menutupi kelancangannya dia melirik pada adiknya Puti Bungsi secara bertanya,“Kenapa engkau diam saja sejak tadi?”
    “Saya ikut apa kata Abah dan Kakak saja,” jawab Puti Bungsu pelan.
    Begitulah.
    Purnama yang dijanjikan itu datang juga. Tuntung Kapuo dan Puti Bungsu berlayar menuju Rimbo Tiang Monyan. Mereka sudah sepakat akan menghadiri undangan Tuan Muda pemilik kapal mewah itu. Paling tidak mereka hendak
melihat keramaian di Rimbo Tiang Monyan.
    Mereka tahu, Rimbo Tiang Monyan itu hanyalah hutan lebat dengan pepohonannya yang besar. Tak ada orang tinggal di sana, kecuali para petani yang berladang. Jadi tak dapat dibayangkan, bagai-mana hutan yang sunyi itu akan diramaikan oleh para gadis dari seluruh pelosok kerajaan Ontah Dimano.
    Untuk perintang pikiran yang risau, Tuntung Kapuo bernyanyi. Sementara adiknya, Puti Bungsu disuruhnya mendayung dan mengemudikan perahu layar mereka.
“Tuntung Kapuo bulancang omeh (Tuntung Kapuo berkapal emas)
tak kitimpung tak kitimpung. (tak kitimpung tak kitimpung)
Puti Bungsu bulancang upih (Puti Bungsu bulancang upih)
tak kitimpung tak kitimpung. (tak kitimpung tak kitimpung)”
    Nyanyian Tuntung Kapuo melengking tinggi, bergema di sepanjang aliran sungai Batang Lubuh. Sambil bernyanyi, pikiran Tuntung Kapuo terus berkeca-muk. Berbagai pertanyaan mengganyah benaknya. Bagaimana kalau Tuan Muda itu sangat buruk rupa? Bagaimana kalau cacat, lumpuh? Kalau dia buta? Kalau dia penyakitan, tak bisa apa-apa?
    Atau sebaliknya? Dia tampan? Gagah perkasa dan kaya raya? Iya, kalau tidak keturunan raja mana mungkin dia berani mencari calon isteri dengan mengumpulkan seluruh gadis di seluruh pelosok kerajaan. Ya, pasti dia juga tampan.
    Dipengaruhi berbagai pertanyaan ini, muncul niat buruk dalam hati Tuntung Kapuo. Kalau kebetulan Tuan Muda itu buruk atau cacat, biarlah kusuruh dia kawin dengan Puti Bungsu. Lagi pula aku kan bisa menolak lamar-annya. Sebaliknya kalau Tuan Muda itu tampan, lebih patut rasanya aku sebagai calon isterinya, pikir Tuntung Kapuo sambil membanding-bandingkan wajahnya dengan awajah adiknya.
    Dan memang benar. Wajah Tuntung Kapuo jauh lebih cantik dibandingkan adiknya, Puti Bungsu. Akan tetapi Tuntung Kapuo masih ragu. Makanya dia membujuk adiknya,”Kita sudah dekat sampai, Puti. Agar engkau kelihatan cantik, biarlah kurias wajahmu.”
    “Terima kasih, Kak. Tak perlulah saya berias. Biarlah begini saja. Kakak saja yang berias,” jawab Puti Bungsu santun.
    “Apa? Kau menyurhku berias? Apa engkau pikir dirimu lebih cantik dari aku?” sentak Tuntung Kapuo tersinggung. “Semua orang kampung sudah tahu, sudah sering bilang aku ini lebih cantik daripada kamu,” lanjutnya geram.
    “Bukan begitu maksud saya, Kak. Kalau Kakak berias, akan tampak lebih cantik menyerupai bidadari….”
    “Ah, jangan banyak cakap. Kau pikir aku senang mendengar pujianmu?” potong Tuntung Kapuo, lalu memaksa Puti Bungsu agar mau diriasnya.
    Karena tidak ingin bertengkar dengan kakaknya, karena dia tahu sifat kakaknya, Puti Bungsu akhirnya menurut saja. Maka Tuntung Kapuo pun merias adiknya. Merias agar adiknya terlihat buruk. Rambut Puti Bungsu disisirnya dengan cara mengacak-acaknya, sehingga terkesan seperti hantu yang baru keluar dari persembunyian, atau seperti Nenek Lampir yang jahat. Muka Puti Bungsu dilumurinya dengan arang, sehingga yang tampak hanya bola matanya yang sekali-sekali bergerak. Tidak puas berbuat begitu saja, Tuntung Kapuo berkata, ”Selama kita di sana, engkau tak boleh ketawa. Tersenyum pun tidak boleh. Ngerti?”
    Puti Bungsu mengangguk patuh, meski dalam hati dia tidak tahu apa maksud kakaknya berbuat begitu.
    Hanya setengah hari berlayar dan kemudian dilanjutkan berjalan kaki, sampailah mereka di Rimbo Tiang Monyan. Di situ sudah ramai para gadis berkumpul. Mereka duduk di atas tikar yang dibentangkan di atas tanah di antara pepohonan hutan. Ada juga yang duduk pada batang pohon tumbang. Ada yang berdiri sambil bercakap-cakap. Bermacam gaya dan rias wajahnya. Semua berusaha menarik perhatian Tuan Muda. Meskipun belum seorang pun yang tahu bagaimana wajah Tuan Muda itu. Rasa penasaranlah yang membuat sebagian besar para gadis itu mau datang ke acara ini.
    Kira-kira lima puluh di depan kumpulan para gadis itu, terbentang layar yang lebar. Seperti kain hitam yang direntangkan dari pohon ke pohon. Entah untuk apa. Dan entah apa yang ada di balik layar itu. Anehnya lagi, yang ada di sana hanya para gadis itu. Memang ada beberapa pemuda berdiri di kedua ujung layar hitam itu. Apakah mereka penjaga layar itu? Untuk apa pula?
    Ketika matahari tepat di ubun-ubun, seorang pemuda muncul dari balik layar. Pemuda yang dulu bicara pada Tuntung Kapuo. Tanpa banyak komentar, pemuda itu berkata,”Terima kasih atas kedatangan Puan-Puan yang cantik-cantik. Kami perkenalkan, inilah Tuan Muda kami!”
    Begitu pemuda tadi mundur, layar hitam lebar tadi terkuak perlahan. Setelah terbuka sekitar satu depa, kuakan layar itu terhenti.  Lalu meuncul seseorang. Ya, di sana kini berdiri seorang pemuda berwajah buruk, sangat buruk. Dan ketika berjalan, tampak dia terpincang-pincang, nyaris seperti merangkak. Pada saat itu terdengar gerutuan panjang di antara para gadis. Macam suara lebah. Bukan itu saja, seorang demi seorang para gadis itu meninggalkan tempat itu. Bahkan hadiah yang dijanjikan akan diberikan kepada setiap gadis yang datang, tak diterima mereka. Mereka sangat kecewa, pulang dengan meninggalkan sumpah-seranah. Akan tetapi masih banyak juga di antara gadis itu  yang ingin mengetahui siapa yang mau menikah dengan pemuda buruk rupa itu. Makanya para gadis itu masih bersembunyi di balik pepohonan, mengintai semua kejadian di arena yang baru saja mereka tinggalkan itu.
    Yang tetap bertahan di sana hanya tujuh orang, termasuk Tuntung Kapuo dan Puti Bungsu. Seperti sudah menduga apa yang akan terjadi, pemuda tadi kembali berdiri dan berbicara,”Apakah adik-adik yang bertujuh orang ini bersedia
menjadi calon isteri Tuan Muda kami?”
    “Uuh, siapa yang mau dengan orang pincang dan buruk?” ejek salah seorang gadis sambil mendengus. “Kami ke sini hanya hendak mengambil hadiah
yang kalian janjikan,” lanjutnya.
    “O, baiklah. Siapa yang datang kemari hanya untuk mengambil hadiah yang kami janjikan, silahkan ambil!” sahut pemuda tadi dengan tetap ramah. Dan sejurus kemudian, dari balik layar hitam itu muncul seorang gadis berkulit putih bersih. Membawa tujuh buah bungkusan. Lalu menyerahkan kepada Tuan Muda yang buruk rupa itu.
    “Silahkan ambil hadiah dari Tuan Muda kami!” ucap pemuda tadi ramah.
    Seketika itu juga empat orang gadis maju. Dengan sangat kasar menyentak bungkusan itu dari pemuda buruk rupa. Lalu tanpa mengucapkan terima kasih keempatnya meninggalkan tempat itu.
    “Berarti apakah yang tiga orang ini bersedia menjadi isteri Tuan Muda kami?” tanya pemuda tadi. “Kalau bersedia, adik-adik harus bersedia diuji,” lanjutnya.
    “Diuji? Hanya untuk mendapatkan pemuda buruk rupa begini kami harus diuji? Di kampung kami melampuh pemuda seperti ini. Besok bisa saya bawakan sekapal ke sini,” cerca Tuntung Kapuo tak dapat menahan marahnya lagi. Sebab sejak tadi dia sudah ingin menumpahkan kejengkelannya pada pemuda buruk rupa itu. Dia lupa, tujuannya ke sini ingin dipilih menjadi isteri Tuan Muda. Atau
mendapatkan harta kekayaan Tuan Muda.
    Gadis yang seorang lagi tak kalah sengitnya mencerca pemuda buruk rupa itu. Sampai-sampai disebutnya wajah pemuda itu mirip dengan siamang peliharan ayahnya.
    “Kalau Puan-Puan tidak berkenan dengan Tuan Muda kami, silahkan ambil hadiahnya. Tidak perlu menghina begitu rupa,” lagi-lagi pemuda tadi bicara dengan sangat sopan. “Sekarang tinggal satu gadis. Bagaimana? Apakah Puan bertahan di sini karena hendak melontarkan cercaan yang lebih pedas dan menyakitkan seperti kedua Puan tadi. Silahkan. Kalau itu yang hendak dilakukan, kami terima. Berarti Tuan Muda kami belum berjodoh.”
    Puti Bungsu hendak bicara, tetapi segera diseret Tuntjng Kapuo. “Cepat, kita pulang saja. Sudah susah-susah ke sini, yang dilihat cuma beruk tua,” gerutu-nya.
    “Tunggu!” suara pemuda tadi terdengar agak keras. “Semua gadis mendapat kesempatan yang sama untuk berbicara. Biarkan Puan itu bicara,” tegasnya.
    “Ini adikku, suka aku mau kubawa kemana!”
    “Betul itu adik Puan. Tapi dia datang ke sini juga dengan maksud yang sama dengan Puan. Dia berhak bicara.”
    “Tapi dia tidak mau bicara apa-apa.”
    “Saya justeru melihat dia mau bicara tadi,” tegas pemuda itu.
    “Aku tak melihatnya!” dengus Tuntung Kapuo.
    “Apa susahnya membiarkan adik Puan bicara,” tiba-tiba pemuda buruk rupa itu bersuara. Membuat tuntung Kapuo tertegun. Suara itu terdengar berwiba-wa, lembut dan sopan. “Saya ingin mendengarkan adik Puan juga mencerca saya,” lanjutnya.
    Melihat Tuntung Kapuo terdiam, Puti Bungsu langsung berkata,”Maafkan saya, Tuan. Apa pantas seorang gadis buruk rupa seperti hamba menjadi calon isteri Tuan?”
    Mendengar ucapan Puti Bungsu, Tuntung Kapuo terbahak. Para gadis yang masih bersembunyi di balik pepohonan juga tak dapat menahan tawanya. Mereka tidak hanya ketawa, tetapi keluar dari persembunyian.
    “Hebat, perkawinan yang hebat. Pengantin buruk rupa tak lama lagi akan bersanding,” teriak salah seorang gadis.
    “Sungguhkah Puan mau menjadi isteri hamba?” tanya Tuan Muda.
    “Untuk apa hamba datang jauh-jauh kalau bukan hendak memenuhi tujuan Tuan?” jawab Puti Bungsu tersipu diiringi suara sorak-sorai yang penuh ejekan.
    “Ke marilah, Puan!” ucap pemuda buruk rupa itu sambil menyilahkan Puti Bungsu agar berdiri di sampingnya.
    Puti Bungsu melangkah dengan malu-malu. Tuntung Kapuo tercengang, tak bisa menahan langkah adiknya. Begitu Puti Bungsu tegak di sampingnya, pemuda buruk rupa itu pun membuka pakaiannya. Mula-mula baju, kemudian
celana. Dan terakhir membuka topeng yang menutup wajahnya.
    Seketika itu juga para gadis terkesima dengan mata membelalak. Pemuda buruk rupa tadi ternyata seorang Tuan Muda yang tampan dan gagah perkasa. Dengan isyarat tangan dia menyuruh seorang pelayan membersihkan wajah Puti Bungsu, menyisir rambutnya. Lalu dia berkata,”Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti acara pemilihan isteri hamba. Semoga budi baik kalian mendapat imbalan yang layak dari Tuhan.”
    Layar terbuka lebar, hidangan tersaji dengan aneka cita-rasa, lengkap dengan kursi dan meja makannya. Di latar belakang sana, tampak Raja dan Permaisuri melangkah perlahan ke arah tempat Puti Bungsu dan pemuda tampan itu berdiri. Lalu dengan senyum khasnya, Raja berkata,“Silahkan para undangan mencicipi hidangan yang disajikan sebagai pesta awal pernikahan anak kami.”
    “Jadi, Tuan Muda itu anak raja?” Tuntung Kapuo dan beberapa gadis tercengang. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar