Sabtu, 20 November 2010

Si Cambai

    Di tepi hutan Rimbo Buluah Apo, hidup sebuah keluarga miskin, Si Cambai dan amainya. Amai maksudnya emak atau ibu. Kedua anak-beranak itu tinggal di sebuah teratak atau pondok yang dibuat oleh mendiang abah si Cambai. Sudah lebih dua tahun mereka tinggal di teratak itu sejak abah si Cambai meninggal. Selama itu pulalah mereka hidup dalam kemiskinan. Tak usahkan membeli pakaian, untuk makan saja mereka susah.
Untuk bertahan hidup, mereka terpaksa memakan buah-buahan dan dedaunan hutan. Tetapi itu pun tidak terlalu lama. Buah-buahan dan dedaunan hutan pun lama-lama akhirnya susah didapat.
Pernah suatu hari keduanya mabuk dan nyaris meninggal karena memakan umbi ubi aro, sejenis umbi-umbian hutan. Kalau dimasak dengan baik memang rasanya enak, dapat pengganti nasi. Tetapi karena mereka tidak tahan lapar lagi, begitu ketemu mereka langsung memakan ubi aro itu. Akibatnya ya, itu tadi. Mereka mabuk dan nyaris tewas.
Pengalaman lain yang cukup menyedihkan tetapi juga menggelikan, ketika suatu hari yang lain, amai si Cambai menemukan cendawan. Cendawan itu mereka rebus dan memakannya. Selang sejam kemudian keduanya tiba-tiba bertingkah aneh. Ketawa-ketawa, mula-mula perlahan, makin lama makin keras, ketawa mengakak-ngakak.  Lebih kurang tiga jam mereka saling tertawa itu.
Setelah tawa mereka berhenti barulah mereka menyadarinya. Ternyata cendawan yang mereka makan tadi cendawan proan. Cendawan hutan ini memang aneh. Kalau tidak dimasak dengan baik, bisa memabukkan. Tetapi mabuk yang ditimbulkan bukan muntah atau pingsan, melainkan ketawa atau menangis macam orang kesurupan.
Begitulah. Oleh karena tidak tahan lagi dilantak kemiskinan, amai si Cambai berniat pula hendak pergi merantau. Mencari rezki di kampung atau kota lain.
Tapi bagaimana dengan si Cambai? Meski sudah berumur tujuh tahun, si Cambai tidak akan sanggup berjalan jauh. Tubuhnya kurus dan lemah karena kurang makan. Begitu juga amainya, malah lebih kurus dan lemah. Tidak mung-
kin dia akan sanggup menggendong si  Cambai.
Walaupun begitu tekad amai si Cambai sudah bulat. Dia harus pergi merantau. Apa pun resikonya. Sebab kalaupun dia tetap bertahan di tepi Hutan Rimbo Buluh Apo ini, mereka akan mati kelapan. Karena itulah amai Cambai memutuskan, akan meninggalkan si Cambai di terataknya. Meskipun begitu, amai si Cambai tidak memberitahukan rencananya itu kepada anaknya.
    Tetapi si Cambai akan memakan apa selama dia pergi? Meskipun dia yakin anaknya akan bisa menjaga diri sendiri. Meskipun dia tahu, si Cambai anak gadis yang cerdas. Akan tetapi dia tidak mungkin meninggalkan anaknya tanpa bekal. Itu sama saja dengan membunuh anaknya secara perlahan. Dan juga tidak mungkin dia membiarkan si Cambai mencari makanan sendiri ke dalam hutan. Oleh karena itu harus ada bekal si Cambai untuk waktu yang lama. Tetapi bagaimana cara mendapatkannya?
    Untuk beberapa saat amai Cambai tertegun. Akan tetapi sejurus kemudian dia segera pergi ke hutan. Mencari apa saja yang dapat untuk dimakan, untuk bekal anaknya selama dia merantau. Berhari-hari dia berjalan dalam hutan, mencari makanan untuk anaknya. Sampai akhirnya dia bertemu dengan seekor ular besar, sebesar pohon kelapa.
    Amai Cambai takut bukan main. Mulut ular itu menganga ke arahnya. Tetapi ular itu nyaris tidak bisa bergerak, karena tubuhnya yang besar dan berat. Ular itu hanya bisa makan jika ada binatang atau apa saja yang lewat di depannya. Begitu binatang lewat di depannya, dia menghirup udara sekuat-kuatnya sehingga benda-benda atau binatang yang ada di depan mulutnya tersedot masuk ke mulutnya.
    Menyadari ular besar itu tak bisa bergerak cepat, amai si Cambai menjadi agak lega. Lagipula sudah berhari-hari dia mencari makanan untuk bekal anaknya tinggal. Inilah, ular inilah baru yang dia temukan. Tetapi apakah dia sanggup membunuh ular sebesar ini?
    Tidak, itu tidak mungkin. Jangan-jangan dirinya yang akan ditelan oleh ular itu. Tetapi tidak ada pilihan lain. Satu-satunya cara mendapatkan bekal untuk anaknya hanya dengan mengambil daging ular itu.
    Aha, akhirnya amai si Cambai dapat akal. Walaupun bahayanya cukup besar. Tetapi dia tak peduli. Maka dia pun mengambil jalan mengelilingi, mencari ekor ular besar itu.  Begitu dia menemukan ekor ular besar itu, dipotongnya bagian ujung ekor ular itu. Kemudian dia pun berlari sekencang-kencangnya ke arah terataknya.
    “Apo tu nun Amai bao?” tanya Cambai begitu amainya muncul di depan pintu. Maksudnya, apa itu yang ibu bawa.
    “Amai dapek ikan tilan godang tadi, indo tubao sasadonya,” jawab amai si Cambai gugup. Artinya dia mendapat ikan tilan besar tadi, karena besarnya tidak sanggup membawa semua ikan itu. Maka dibawanya saja sebagian ke teratak.
    Menitik air liur Cambai mendengar jawaban amainya. Sudah sangat lama
mereka tak pernah memakan ikan, apalagi ikan besar. Maka dihampirinya amainya yang sedang sibuk memotong-motong ikan. Potongan-potongan itu kemudian dicuci, kemudian dimasukkan ke dalam takar, semacam guci. Diberi
bumbu tepung beras. Ditunggu beberapa hari sampai menjadi pekasam.  Inilah
cara tradisional mengawetkan ikan.
    Setelah ekor ular itu jadi pekasam, amai si Cambai pun berkata kepada anaknya,”Nak, kau tinggal di teratak ya. Amai hendak menjual pekasam ke kota.. Jaga teratak kita baik-baik ya, Nak. Kalau kau lapar, ambil saja pekasam tilan itu.”
    Si Cambai tidak langsung menjawab. Ditatapnya amainya berlama-lama. Ada yang aneh pada sikap amainya. Biasanya kalau mau pergi kemana saja, amainya hanya menyebut tujuannya, lalu pergi. Tidak pernah berpetuah menyuruh menjaga teratak atau meninggalkan bekal makanan.
    Ditatap anaknya begitu, amai si Cambai memalingkan wajah. Tidak sanggup dia menatap mata bening dan polos anaknya. Lalu tanpa menunggu jawaban anaknya, dia bergegas menuruni tangga teratak.
    “Hati-hati, Mai! Belikan Cambai makanan enak, ya Mai!” teriak Cambai ketika amainya sudah sampai di laman teratak. Amai Cambai hanya menoleh sejenak, lalu mengangguk dan melangkah meninggalkan laman teratak.
    Baru saja amainya hilang di balik hutan lebat, Cambai mendengar suara alunan nyanyian. Semula Cambai menyangka itu suara amainya. Akan tetapi dia menjadi ragu, karena suara itu berasal dari hutan lebat di belakang terataknya. Maka gadis kecil itu kembali menyimak suara alunan nyanyian itu :
        “O, Cambai poi komano si Amai, deang?”
(O, Cambai pergi kemana ibu, engkau?)
Deang maksudnya panggilan kepada perempuan, baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa.
    Karena terpesona dan terpengaruh oleh keindahan nyanyian itu, si Cambai pun menjawab dengan mengikuti irama nyanyian itu.
        “Poi munjua pukasam tilan.”
        (Pergi menjual pekasam tilan)
    Lalu disahuti langsung oleh suara itu :
        “Indo tedo pukasam tilan. Ikuo kutenyo dikorek amai deang.”
        (Bukanlah itu pekasam tilan. Ekorkulah yang dipotong ibu engkau.)
    Mendengar jawaban nyanyian itu, Si Cambai terkejut. Sehingga dia berusaha mencari sumber suara. Benarkah apa yang dikatakan sumber suara itu? Siapa yang bersuara itu?
    Si Cambai mengintip lewat celah-celah dinding terataknya yang terbuat dari kulit kayu terap.
    Ya, Tuhan! Di sana, di tepi hutan tampak belukar berombak. Pepohonan belukar itu tersibak, bergerak dan berderak patah seperti dihalun kawanan gajah. Binatang apa itu? Dan tampaknya menuju ke teratak.
    Selang beberapa lama kemudian, gerakan itu terhenti. Lalu terdengar nyanyian :
        “O, Cambai poi komano si Amai, deang?”
(O, Cambai pergi kemana ibu, engkau?)
    Dengan gugup setengah tercengang, si Cambai menyahut :
        “Poi munjua pukasam tilan.”
        (Pergi menjual pekasam tilan)
    Suara dari balik semak belukar itu menyahut pula :
        “Indo tedo pukasam tilan. Ikuo kutenyo dikorek amai deang.”
        (Bukanlah itu pekasam tilan. Ekorkulah yang dipotong ibu engkau.)
    Semak-belukar kembali bergerak. Pepohonan kecil berderak patah. Makin dekat, makin dekat ke tepi hutan. Dan ketika sampai di tepi hutan, tak jauh dari teratak, si Cambai terpekik. Di sana terbelintang seekor ular raksasa. Mulutnya sekali-sekali menganga, lidahnya yang bercabang menjulur keluar, bergerak-gerak liar. Dan ekornya, berdarah!
    Mengapa ekor ular raksasa itu berlumuran darah? Dan benar, ekor itu terpotong. Jadi betulkah apa yang dikatakan nyanyian tadi? Ular inikah yang bernyanyi tadi?
        “O, Cambai poi komano si Amai, deang?”
    Ya, Tuhan. Benar, yang bernyanyi sejak tadi ternyata adalah ular besar itu. Ya, suara nyanyian itu benar-benar berasal dari ular itu. Kalau begitu, apa yang dikatakan amai sebagai pekasam tilan itu bohong? Apa mungkin amai berbo-hong? Tidak, tidak mungkin! Amai tidak pernah berbohong kepadaku, pikir Cambai dalam ketakutan.
    Oleh karena tidak ada sahutan dari Cambai, ular itu kembali bernyanyi. Suaranya kadang terdengar seperti mengiba-iba, tetapi kadangkala terdengar seperti geram mengancam. Maka dalam ketakutannya, Cambai kembali menjawab :
        “Poi munjua pukasam tilan.”
        “Indo tedo pukasam tilan. Ikuo kutenyo dikorek amai deang.”
“Nantilah, Deang. Kan kutolan bulek-bulek,” terdengar suara ular itu mengancam. Maksudnya “Tunggulah kau. Kan kutelan bulat-bulat.”
Si Cambai ingin membantah. Tidak mungkin amainya memotong ekor ular untuk dijadikan pekasam. Akan tetapi belum sempat dia bicara, ular besar itu bernyanyi lagi. Dan kini ular itu sudah tersergam di laman teratak. Merayap perlahan ke arah tangga teratak.
Si Cambai gemetar ketakutan. Ular itu terus bernyanyi dan merayap. Dan kini sudah naik pada tangga pertama.
        “O, Cambai poi komano si Amai, deang?”
Cambai berusaha menguasai diri. Mengeyahkan rasa takutnya seraya men-jawab dengan nyanyian :
        “Poi munjua pukasam tilan.”
        “Indo tedo pukasam tilan. Ikuo kutenyo dikorek amai deang.”
    Kemudian ular itu kembali mengeluarkan ancamannya. Hendak menelan Cambai.  Dan kini ular itu sudah sampai pada tangga kedua. Merayap lamban, tetapi terus merangsek naik.
    “Baiklah, kalau engkau hendak menelanku juga, silahkan! Tetapi percayalah, aku tidak berbohong padamu. Amaiku pergi ke kota menjual pekasam tilan,” jelas Cambai. Kini suaranya sudah tenang, tidak gugup dan gemetar lagi.
    “Amaimu bohong. Dia memotong ekorku, lihatlah!” sentak ular marah seraya mengibaskan ekornya yang berdarah.
    “Kalau benar amaiku berbohong, kalau amaiku yang memotong ekormu, mengapa aku yang hendak engkau telan?” tanya Cambai memulai tipu musli-hatnya.
    Seketika ular itu terdiam. Berhenti pada tangga ketiga. Baru sekitar satu depa tubuhnya yang besar itu menaiki tangga. Selainnya terjelepak melintang macam batang kelapa di laman teratak.
    Melihat hal itu, Cambai pun berkata, ”Kalau engkau hendak menelanku juga, biarlah aku turun ke laman. Tak perlu engkau bersusah payah menaiki tangga teratakku. Tangga teratak ini lah lapuk pula. Nanti jatuh pula engkau, makin sakit luka pada ekormu itu.”
    Ular besar itu makin termangu. Akan tetapi ketika dilihatnya Cambai hendak beranjak turun, secepatnya dia berkata,”Baiklah. Engkau akan kutelan.”
    Kini Cambai yang tersentak, kaget. Hanya saja secepatnya dia berusaha menenangkan diri. Dengan dada berdebar, jantung berdegup keras dia pun menuruni anak tangga. Pada saat itu juga sebersit pikiran melintas di kepalanya.
    “Sebelum kau menelanku, aku ingin menebus kesalahan amaiku.”
    “Maksud engkau?” tanya ular tak mengerti.
“Izinkan aku mengobati luka ekormu.”
Kembali ular itu tertegun. Pada saat ular itu diam, Cambai sudah sampai ke tangga paling bawah. Dia langsung melompat ke laman dan menyusuri tubuh ular besar itu sampai ke ekornya. Kemudian tanpa bicara lagi, dia pun mulai mengobati luka ekor ular itu dengan dedaunan hutan. Tiba-tiba saja dia merasa kasihan pada ular itu dan menyesali perbuatan amainya.
Setelah membaruti luka ekor ular itu dengan dedaunan hutan yang dimamahnya, dengan lembut dibelai-belainya tubuh ular itu sepenuh rasa kasih sayang. Ular besar itu merasakan kasih sayang yang tulus dari gadis kecil itu. Dia menikmati belaian lembut itu, sampai akhirnya dia tertidur pulas.
Cambai lalu kembali naik ke teratak. Dengan penuh penyesalan diambil-
nya semua pekasam yang ada di dalam takar. Kemudian ditumpahkannya dengan hati-hati pada bagian ekor ular yang terpotong itu. Dan keajaiban tiba-tiba terjadi. Potongan-potongan pekasam itu berubah bentuk seperti semula, menjadi ekor ular. Dan dalam waktu beberapa saat saja, ekor ular itu kembali utuh seperti sediakala.
    Tak terkata girangnya hati Cambai. Namun dia tidak tega mengganggu tidur ular yang begitu pulas. Ditunggunya ular itu bangun.
    Tiga hari tiga malam dia menahan lapar dan haus. Barulah pada hari keempat ular itu terjaga. Dan begitu menyadari ekornya sudah utuh seperti semula, ular itu berkata memelas,”Engkau benar-benar gadis kecil yang baik budi, Cambai. Karena ketulusanmu, ekorku bisa kembali utuh. Terima kaih, Cambai, terima kasih sahabatku.”
    Selesai berkata begitu, ular besar itu menyemburkan sesuatu dari mulutnya. Sebelum sempat Cambai bertanya, ular besar itu berkata,”Ambillah, sebagai bekal engkau. Sampaikan salamku pada amai engkau. Aku yakin, dia berani memotong ekorku karena sangat sayang padamu.”
    Cambai hanya bisa termangu melihat kepergian ular itu, merayap perlahan menuju hutan lebat di belakang teratak. “Terima kasih, sahabat!” Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Kemudian Cambai memungut benda yang disemburkan ular tadi. Ternyata tiga buah berlian, berkilauan terkena cahaya matahari. Seperti kilauan butir-butir airmata Cambai. Air mata bahagia!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar