Sabtu, 20 November 2010

Asal Mula Ekor Harimau dan Beruang

Seekor kambing buta, berjalan terseok-seok di antara pepohonan hutan yang tumbuh rapat. Terkadang kepalanya menyeruduk semak, lain waktu terbentur pohon, malah kadang terjerembab karena kakinya tersangkut akar. Setiap kali dia terjatuh, setiap kali itu pula dia mengaduh, mengembek.
Walaupun begitu dia terus berjalan. Mendengus-dengus menciumi dan mencari  dedaunan untuk dimakan. Akan tetapi belum juga dia menemukan daun muda untuk dimakan. Padahal sudah setengah hari dia berjalan.
Memang terik matahari yang memanggang bumi tidak terasa olehnya karena terlindung oleh pepohonan hutan yang berdaun lebat. Namun rasa haus yang menyerang tenggorokannya sudah tak tertahankan. Apalagi sampai saat itu
dia juga tidak menemukan air untuk diminum.
Tapi tak ada pilihan lain. Kambing buta itu terpaksa terus berjalan, terus tertatih-tatih, meraba-raba, menciumi dedaunan, menyeruduk ke sana ke mari sambil menahan perih lapar dan gejolak rasa haus yang serasa membakar kerongkongannya.
Dalam keadaan lelah dan lapar itulah, tiba-tiba dia mendengar suara berisik dedaunan kering. Dan itu membuatnya seketika berhenti. Sebagai hewan yang lemah dan buta pula, kambing itu selalu waspada akan bahaya yang mengancam dirinya. Makanya dia memasang telinga baik-baik.
Apakah ada binatang buas yang mengintai dan hendak menerkamnya? Tiba-tiba saja kambing buta itu merasa kecut. Takut bukan main. Berbagai pikiran buruk menghantuinya. Jangan-jangan ular besar, harimau ganas atau beruang api? Berbagai jenis binatang buas lainnya berkelebat dalam pikirannya. Tetapi di antara binatang buas itu, yang paling ditakutinya adalah harimau. Binatang yang paling kejam dan bengis. Katanya dia raja rimba, tetapi suka menerkam dan memangsa binatang lainnya. Raja rakus dan kejam, membunuh rakyatnya sendiri.
Harimaukah itu?
Kambing buta masih tegak terpaku. Tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu harus berlindung kemana. Sementara suara daun kering yang berisik semakin dekat. Bahkan kedengarannya sedang menujuk ke arahnya. Dalam ketakutan itu,
akhirnya kambing buta berbalik dan lari.
Akan tetapi baru beberapa langkah dia berlari, kepalanya membentur pohon besar. Dia terpental, pening. Rasa nyeri kepalanya ditahannya. Dia segera berusaha bangkit, hendak lari lagi. Menjauh dari suara yang semakin dekat ke arahnya.
“Hei, Kak Kambing!” sebuah suara kecil tiba-tiba menyapanya. Kambing buta yang hendak berlari kini menoleh ke belakang. Meskipun dia sadar bahwa dia juga tak bisa melihat. Akan tetapi setidaknya dia bisa mengurangi rasa takutnya. Apalagi suara itu terdengar ramah dan sangat bersahabat. Maka seketika itu juga semua rasa takutnya pupus. Rasa cemasnya berganti rasa senang. Oleh karena itulah dia memberanikan diri bertanya,”Engkau siapa, Kawan?”
“Ah, masa lupa. Aku kancil!”
Deg. Hati kambing berdegup tak tenang. Dia kembali curiga. Sudah sering dia mendengar cerita tentang kecerdikan kancil. Dengan kecerdikan dan kelicikannya, harimau pun bisa ditaklukkannya. Berkali-kali harimau ditipu oleh kecerdikan kancil.
Jangan-jangan kancil ini juga hendak menipuku. Sedangkan harimau yang ganas saja berani dia permainkan, apalagi aku yang buta. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku tak hendak ditipu.
“Kenapa diam? Apakah Kak Kambing tak bersedia aku temani?” tanya kancil tiba-tiba.
“Bukan, bukan begitu,” kambing buta menjawab dengan tergagap. Lalu
melangkah perlahan menghampiri kancil.
Melihat kambing berjalan terseok-seok ke arahnya, kancil menjadi iba. Cepat dia menyongsong kambing buta itu seraya bertanya,”Sudah dapat makanan?”
     Secepatnya kambing buta menggeleng, sedih.
    “Kebetulan, aku pun belum makan sejak pagi. Tadi aku bangun agak kesiangan,” terang kancil dengan jujur. Suaranya penuh dengan keriangan. Seperti biasanya, kancil memang hampir tak pernah memperlihatkan kesedihannya. Dimana saja dia berada dia selalu ceria.
    “Kebetulan bagaimana maksudmu?” tanya kambing tak bisa menyembunyikan rasa curiganya. Bukankah temannya pernah mengatakan, ”Jangan pernah percaya kepada mulut manis dan rayuan kancil.”
    “Karena kita sama-sama belum makan, bagaimana kalau kita cari makan bersama-sama.”
    Kambing buta terdiam. Rasa curiganya kepada kancil makin kuat. Bukankah makanan kancil juga daun-daun muda dan buah-buahan hutan? Jangan-jangan nanti dia yang dapat makanan enak, awak dapat sisanya, pikir kambing buta. Tetapi tak ada jalan lain. Perutnya sudah lapar, tekaknya kering, terbakar rasa haus. Maka dia pun berkata,”Kalau begitu ayolah. Kau naik ke punggungku. Kau yang menjadi penunjuk jalan.”
    Dengan berkata begitu kambing buta tak perlu lagi cemas tidak kebagian
makanan. Tak mungkin kancil memakan makanan yang enak sendirian. Kalau kancil mendapat makanan, tentu dia juga mendapat makanan yang sama. Sebab kancil berada di atas punggungnya.
    “Ah, masa begitu. Tak sampai hati aku duduk di atas punggung Kak Kambing,” elak kancil tulus.
    Nah, kan. Kancil cerdik itu tak mau menerima usulku, pikir kambing. Sebab dengan begitu dia tak bisa menipuku. Tetapi kalau dipikir-pikir, apanya yang mau ditipu kancil? Kalau dia mau mencari makanan sendiri, tak perlu dia mengajakku. Dia bisa mencari sendiri makanannya. Dia bisa melihat kemana saja dia mau pergi mencari makanan. Ah, tak seharusnya aku mencurigainya.
    Berpikir begitu, kambing buta akhirnya menjawab,”Ah, berapalah beratmu. Tak akan penat aku mendukungmu.”
    “Iyalah, kalau sudah begitu mau Kak Kambing,” kata kancil akhirnya seraya melompat ke punggung kambing. Dan begitu kancil berada di punggungnya, kambing pun mulai melangkah, berjalan menerobos kelebatan hutan dipandu oleh kancil.
    “Ke kiri,” kata kancil dengan suara pelan, berbisik. Kambing berbelok ke kiri. “Kanan,” bisik kancil pula. Kambing pun dengan patuh berbelok ke kanan. Kiri-kanan, kiri-kanan, kiri, kiri, kanan, kanan, kanan, kanan, begitu seterusnya. Kancil memberikan aba-aba dengan berbisik. Kambing pun mengikutinya dengan
patuh.
    Tingkah laku keduanya sempat menarik perhatian binatang lainnya. Mereka memandang heran ke arah keduanya dari jarak jauh. Tak ada yang berani mendekat. Ada rasa penasaran dan takut menghantui mereka. Ya, ada binatang aneh, binatang berkepala dua.
    Dalam waktu yang tak lama berselang, hutan yang mereka lalui menjadi gempar. Binatang-binatang berlarian ketakutan, berteriak-teriak dengan suara khasnya masing-masing. Sekawanan babi menyeruduk gumpalan akar, segerombolan kera berlompatan menjauhi jalan yang akan dilalui kambing buta dan kancil. Siamang memekik nyaring sambil berayun dari pohon yang satu ke cabang pohon yang lain. Sepasang rusa hampir menabrak sekawanan babi yang kebingungan dalam gumpalan akar. Semua panic, semuanya ingin berlari sekencang-kencangnya, menjauh dari binatang aneh, binatang
berkepala dua.
    Di antara binatang-binatang yang berlari ketakutan itu, tampak seekor beruang dengan langkah lamban berdebam-debam menahan berat badannya yang tembam. Saking paniknya, dia tidak tahu kalau di depannya sudah berdiri seekor harimau.
    “Hei, siapa yang mengejarmu?” bentak harimau heran sambil mengejek. “Dasar penakut, pandainya cuma lari terbirit-birit.”
    Beruang terkejut dan berhenti mendadak. Matanya liar menatap harimau,
mengawasi gerak-gerik binatang buas itu. Harimau pun makin pasang aksi. Digerak-gerakkannya kumisnya, dingangakannya mulutnya, memperlihatkan dua taringnya yang tajam.
    “Apa yang engkau takutkan?” tanya harimau lagi melihat beruang terengah-engah. Suaranya semakin menggelegak membentak beruang.
    Dengan gemetar, karena takut melihat binatang berkepala dua dan juga takut mendengar suara bentakan harimau, beruang menceritakan semua yang dilihatnya.
    “Binatang aneh? Berkepala dua?” tanya harimau mengejek setelah mendengar cerita beruang. “Jangan jadi pengcut. Ayo, bawa aku ke sana!” lanjut harimau dengan congkak.
    “Engkau berani?” tanya beruang ragu.
    “Eee, kau jangan menyepelekan aku, ya! Apa kau lupa aku ini raja rimba?” sergah harimau lagi makin  keras. Dia benar-benar tersinggung oleh ucapan beruang.
    “Bukan begitu….”
    “Ah, sudah. Jangan banyak cakap. Ayo, kita ke sana,”potong harimau tak sabar dengan rasa sombongnya.
    Akan tetapi beruang tidak segera beranjak pergi. Dia masih ragu pada keberanian harimau. Ya, meski harimau adalah raja rimba, tetapi kepalanya kan hanya satu. Mana mungkin dia berani melawan binatang berkepala dua. Bahkan tadi dia sendiri melihat, gajah saja lari terbirit-birit melihat binatang berkepala dua itu.
    “Kenapa diam? Ayo, kalau perlu kuremuk dan kumakan kedua kepala binatang itu!” desak harimau makin tak sabar.
    “Beginilah, Kawan. Sebelum menemui binatang berkepala dua itu, kita harus sepakat dulu,” ucap beruang.
    “Sepakat apa?”
    Beruang ragu lagi. Tetapi dia tidak berani menatap harimau.
    “Ayo, katakan!”
    “Engkau benar-benar mau melihat….”
    “Bukan hanya melihat. Tetapi meremukkan dan memakan kedua kepalanya,” potong harimau jengkel.
    “Engkau meragukan aku?” sergah harimau lagi melihat beruang terdiam.
    “Beginilah, kalau kau mau melawannya aku juga ikut. Tetapi kalau ternyata kita kalah, kita juga harus sama-sama berlari,” usul beruang akhirnya.
    “Iyalah, ayo!” jawab harimau tanpa pikir panjang. Dia benar-benar jengkel melihat beruang yang meragukan kemampuannya. Kalau bukan karena dia ingin melihat binatang aneh itu, tentu dia tak bisa lagi menahan marahnya kepada beruang.
    Meskipun didesak begitu, beruang belum juga puas. Dia tahu, kalau sempat mereka kalah melawan hewan aneh itu, harimau pasti lari. Dan beruang pasti kalah cepat daripada harimau. Oleh karena itu dia pun berkata,”Kalau begitu lebih baik ekor kita saling diikatkan, supaya kita selalu bersama.” 
    Karena jengkel, harimau langsung saja menyetujui usul beruang. Makanya tanpa banyak bicara dia membantu beruang mengikatkan ekor mereka. Setelah itu keduanya segera berjalan dengan perlahan.
    Memang berjalan dengan ekor saling terikat tidak semudah yang mereka duga. Mereka harus mengatur langkah agar seirama sehingga keduanya dapat berjalan dengan baik. Mula-mula memang terasa kikuk, tetapi makin lama makin serasi, makin cepat dan cepat.
    Tidak terlalu jauh berjalan, mereka akhirnya bertemu dengan hewan berkepala dua itu. Seketika itu juga beruang berteriak,”Itu dia!”
    Tidak menyangka bertemu secepat itu, juga terkejut oleh teriakan beruang, harimau mendadak tertegun. Kambing buta yang mendengar teriakan beruang itu juga berhenti mendadak. Pada saat itu juga kancil berbisik ke telinga kambing bahwa di depan mereka ada harimau dan beruang. Kancil menyuruh kambing agar mengangakan mulutnya lebar-lebar untuk menakut-nakuti harimau dan beruang. Sementara itu kancil berusaha duduk dengan tenang, pura-pura tidak melihat kehadiran beruang dan harimau.
    “Bagaimana ini?” bisik beruang gemetar.
    Semula kambing ragu. Iya kalau harimau dan beruang takut, kalau sebaliknya? Harimau menerkam mereka, beruang mengerkah kepala mereka,
mengoyak-ngoyak tubuh mereka?
 Akan tetapi keraguan itu hanya terjadi beberapa saat. Desakan kancil yang bertubi-tubi akhirnya membuat kambing jadi nekad. Lagi pula saat itu juga dia ingat betapa kancil adalah temannya yang cerdik. Maka tiba-tiba saja dia mengengakan mulutnya. Bukan hanya mengangakan mulut tetapi juga melompat dan berlari ke arah harimau dan beruang sambil berteriak sekuat-kuatnya. “Hei, ke sini kau!” teriaknya dengan suara dibesar-besarkan.” Si Belang dan si Hitam, kalianlah makanan empuk yang kucari-cari selama ini!” lanjut kambing makin bersemangat. Kancil punikut-ikutan membesarkan suaranya. Sehingga suara keduanya terdengar aneh, menggelegar, menggema ke dalam hutan.
Mendengar pekikan dahsyat binatang aneh berkepala dua itu, serta merta harimau berbalik sambil melompat sekuat-kuatnya. Saking kuatnya lompatan harimau, ekornya dan ekor beruang yang masih saling terikat, putus. Pekik lolong kesakitan harimau dan beruang lebih dahsyat lagi, bergema mengejutkankan seluruh penghuni hutan.
Konon, itulah sebabnya ekor harimau sampai sekarang berbelang hitam. Warna hitam itu berasal dari ekor beruang. Sedangkan beruang nyaris tak punya ekor karena habis putus akibat sentakan ketika harimau melompat. ***

Sumber : Abuhasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar